Bid’ah Menurut Penjelasan Para Ulama
1. Imam Syafii
(Syaikhul Akbar Mutjahid Mutlaq [1] Nashirussunah [2] Al Hakim Al
Imam Asy Syafi)
“Bid’ah terbagi menjadi 2 bagian. Pertama: Perkara baru yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu
yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka
yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah
yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik (hasanah)
dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka
sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”
(Riwayat Imam Baihaqi didalam Manaqib Asy Syafii Juz 1 Halaman
469, Ibnu Hajar Al Asqalaniy dalam Fath al-Bari bi Syarah Shahih
Bukhari 13/253, Sayyid Al-Bakri Abu Bakar bin Muhammad Syatha’
Addimyatiy didalam I’anah At-Thalibin Ibn `Asakir dalam Tabyin
Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam
“Siyar”, 8/408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam,
2/52-53, ).
2. Imam Ibnu Abdilbarr
Al Hakim Al Muhaddits Al Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-
Namiri Al-Andalusi , seorang ulama besar faqih lagi hafidh yang
bermazhab maliki.
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam
bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum
pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi
sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib
mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan
meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya.
Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah,
maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
3. Imam Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
Annawawi, Pakar Hadits Besar, Rijalussanad Imam Syafii.
“Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah
ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik
dan buruk.” Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam
kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad
Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-
Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib
(wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh
(makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu
Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia
masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia
termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk
hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai,
apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan
seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”
(Tahdzibul ‘Asma wal Lughot 3/20-22)
Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
qabihah (buruk)”. ( Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat 3/22),
4. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
Al Hujjatul Islam Amirul Mukminin fii Hadits Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
hafizh dan faqih bermadzhab Syafi’i.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan
sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela.
Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang
dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila
masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut
syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak
masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah
(boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”
(Fathul Bari bi Syarah Shahihul Bukhari, 4/253).
5. Imam Ibnu Al Arabi
Al Hafidh Al Imam Ibnu Al Arabi Al Maliki
“Ketahuilah bahwa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam:
Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki
landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini
adalah Bid’ah yang sesat.
Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa
yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para
Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut
bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak
dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.
(Aridhat Al-Ahwadzi Syarah Jami’ Attirmidziy 10/146-147)
6. Imam Ghazali
Al Hujjatul Islam Al Imam Ghazali
“Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah
menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang
terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah
“Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang
sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang
dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan
dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah
itu.
(Ihya Ulumuddin 1/276)
7. Imam Al Aini
Al Hafidh Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini,hafizh
dan faqih bermadzhab Hanafi
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum
pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua
macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap
baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila masuk
di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka
disebut bid’ah tercela.” (Umdatulqoriy Syarah al-Bukhari, Maktabah
Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155 ).
8. Imam Ibnu Hazm. Ibnu Hazm Az Zahiri Al Andalusi
“Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan
tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia
adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala,
sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah
baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang
dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum,
walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara
khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak
dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.
(Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Usulul Ahkam 1/47)
10. Imam Izzuddin Abdissalam
Al Hafidh Al Imam Izuddin Abdissalam
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal
(terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah
wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah
dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah
dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat.
Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah
wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah
muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah
mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah
mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah
menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat
itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui
ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya
perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh
dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah
ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan
Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut
termasuk hukumnya wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan
sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada
abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya
memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah
makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah,
tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-
lain.”
(Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi
bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final
dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha
dan ahli hadits.
11. Al Hafidh Imam Ibnu Atsir
Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari.
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan
bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah
dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah
yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan
dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji.
Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti
semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong
perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi
syara’.”
(Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar)
12. Al-Imam Al-Shan’ani.
Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan’ani, seorang muhaddits dan
faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam
kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau
mengatakan:
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah
sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui
Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi
lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama
dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-
kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah
mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah
mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan
baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah,
dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua
bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi
jangkauannya.”
(Subulussalam 2/48).
13. Imam Suyuthi.
Al Muhaddis Al Hujjatul Islam Al Imam Jalaluddin As Suyuthi
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun
makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti
firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf
25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat :
“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam
dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan
pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat
itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin
dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan
kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun
setelah wafatnya Rasul saw)
(Syarah Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
14. Syaikh Sajuddin Ibnul Mulaqqan
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada
sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah
dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa
(terpetunjuk/benar).
(At Tauzhih li Syarh Al Jami’i As Shahih, Al Wazarah Al Auqaf wa
Syu-un AlIslamiyah, Qathar, Juz. 8 Hal. 554)
15. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy
Al Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang
didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak
pelakunya, bahkan amalannya diterima”
beliau melanjutkan,
Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam
urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan)
itu tertolak.(H.R. Bukhari [26] dan Muslim [27])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa
minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu
yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid
agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian
beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang
didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak
pelakunya, bahkan amalannya diterima”.
(Fathul Mubin, Al-‘Amirah As Syarfiah, Mesir, Hal. 94)
16. Al Imam Al Munawi
Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah
syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya
membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu
pengetahuan dan lain-lain.”
(Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No.
Hadits 8333)
17. Syaikh Wahbah Azzuhaili (Pakar Ushul Fiqih)
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa
adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika
ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang
dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia
termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya
tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori
kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan
ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang
melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a.
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam
katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk
dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya,
maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar”
(Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290)
18. Syaikh Ahmad Shawiy
Syaikh Ahmad bin Muhammad Ash Shawiy Al Maliki
Pada ayat di atas (Alhadid 27), Allah Ta’ala memberikan pahala
kepada orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang
yang melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah dan
memeliharanya dengan semestinya. (Ahmad Shawy, Tafsir al-
Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal.
177)
Kesimpulan :
Apa yang tersisa dari ilmu islam jika
pendapat mereka semua di ketepikan?
sementara sebagian dari mereka diliputi ilmu
yang luas, mereka hidup di mana bumi
masih di penuhi hadits.
Al Hafidh adalah gelar bagi ulama yang telah berhasil menghapal
100.000 hadits beserta sanad dan hukum matannya.
Al Hujjatul Islam adalah gelar bagi ulama yang telah berhasil
menghapal 300.000 hadits beserta sanad dan hukum matannya.
Sedangkan dizaman sekarang jumlah seluruh hadits jika di
kumpulkan semuanya tidak mencapai 80.000 hadits. Lalu dengan
dasar apa kita ingin menumbangkan pendapat mereka?
Sementara siapakah yang lebih paham tentang hadits nabi, kita
atau mereka?
wallahu a’lam
———————–
[1] Mujtahid mutlak atau mujtahid mutlak mustaqil adalah seorang
ulama akbar lagi agung yang luas pemahaman syariahnya dari
berbagai cabang ilmu dan keilmuannya diakui oleh ribuan ulama,
dalam hal ini yang termasyhur adalah 4 orang, Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal
[2] Nashirussunah artinya pembela sunnah, salah satu julukan
Imam Asy Syafii
[3] Rijalussanad artinya ulama yang memiliki sanad yang mutassil