English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
NAHDLATUL ULAMA BERKOMITMEN TETAP MEMPERTAHANKAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia

Akidah Islam ; Histori Awal dan Alur Mayoritas

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Sabtu, 24 Maret 2012 0 komentar

Faktor Munculnya Perbedaan

Seperti dalam ramalan bahwa Islam akan terpecah dalam begitu banyak aliran. Perbedaan keyakinan terjadi tidak lama setelah ramalan diucapkan. Pada abad pertama, di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib mulai muncul benih golongan pemberontak yang kemudian dikenal dengan Khawarij.

Faktor politik menjadi alasan utama mereka memberontak. Tapi itu berujung pada perdebatan pemikiran, utamanya tentang status pelaku dosa besar, apakah masih dianggap muslim ataukah kafir. Seiring waktu, golongan ini menyinggung ranah teologi tentang bagaimana status pelaku dosa besar. Apakah mereka muslim ataukah telah kafir. Perdebatan pun muncul. Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar diimbangi oleh golongan Murji’ah yang ‘kebablasan’ dengan berpendapat perbuatan dosa sama sekali tak berpengaruh pada status kafir atau muslim.

Perdebatan itu merembet pada tema-tema tentang takdir, kekuatan manusia, dan sifat Tuhan, yang membawa para tokoh pada akhir abad pertama hijriah dalam perbedaan pendapat. Sejak saat itu, banyak di antara mereka memunculkan pemikiran-pemikiran baru tentang tema-tema tersebut. Hingga muncullah pendapat-pendapat yang kerap kali ada kemiripan dengan keyakinan di luar Islam. Misalnya di Persia, ada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa terhadap dirinya dan Tuhan sama sekali tidak berhak menentukan perbuatan manusia. Keyakinan ini menyusup dan berbuah menjadi paham Qadariyah. Kemudian lawan dari paham ini muncul dan dikenal dengan paham Jabariyah atau Jahmiyah.

Pengkultusan kepada tokoh yang dilakukan oleh orang Yahudi diusung oleh seorang penyusup yang pura-pura masuk Islam bernama Abdullah bin Saba’ dan akhirnya memunculkan paham Syiah. Seiring waktu, Syiah terus berkembang dan akhirnya melahirkan banyak aliran sempalan, satu di antaranya adalah Batiniyah yang pernah berkuasa di berbagai belahan negara Islam.

Begitulah, aliran-aliran itu muncul dan berusaha menabrak keyakinan-keyakinan yang telah ada pada mayoritas umat Islam saat itu. Para ulama berusaha melakukan penolakan dan bantahan. Sehingga sebagian besar dari golongan itu kalah dan dibasmi oleh pemerintah, seperti Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah. Sebagian lagi justru dapat mengambil alih kekuasaan dan terus berkembang dalam waktu yang lama, bahkan mungkin hingga saat ini, misalnya Bathiniyah dan Syiah.

Mungkin saja aliran-aliran itu telah musnah berabad-abad yang lalu. Tapi pola pemikiran dan keyakinan salah mereka bisa saja muncul di suatu titik sejarah dengan berbagai macam perkawinan silang keyakinan. Misalnya keyakinan tentang pengkultusan seseorang yang pernah dilakukan oleh Bathiniyah, dengan menganggap pemimpinnya adalah seorang nabi, muncul kembali dengan wajah baru; Ahmadiyah.

Otoritas kuasa bagi manusia dan Tuhan tak memiliki wewenang dalam menciptakan perbuatan manusia seolah berenkarnasi dan hidup kembali dengan nama baru; Islam Liberal. Keyakinan itu dulu pernah diusung oleh golongan yang pernah menguasai pemerintahan, yaitu Muktazilah. Tentu saja, Islam Liberal bukan 100 % Muktazilah.

Begitulah sejarah teologi Islam hidup. Keyakinan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, bertabrakan dengan banyak sekali lempengan keyakinan yang berasal dari luar Islam. Sehingga para ulama sejak masa awal berusaha melakukan penolakan dan pembentengan dengan menjelaskan kesalahan dan perbedaan keyakinan mereka dengan apa yang ada pada masa Rasulullah saw.

***

Mehamami Makna Salaf

Sangat logis bahwa yang paling pantas menafsiri al-Quran adalah orang yang membawa al-Quran itu sendiri, Nabi Muhammad saw. Beliaulah yang paling memahami apa yang dimaksud dalam al-Quran. Jelas.

Dan sangat rasional bahwa yang paling mengerti pada apa yang dikehendaki Nabi saw adalah para sahabatnya. Mereka paham betul pada kondisi sosiologis-psikologis saat itu, karakter lawan bicara (mukhâtab) dalam teks hadis, dan hal-hal lain yang tak tertulis dalam teks. Saksi sejarah jelas lebih paham dari sekadar peneliti sejarah.

Pun begitu dengan tabiin dan tabi tabiin. Mereka hidup saat Islam masih belum (banyak) digempur oleh bidah-bidah dari luar Islam.

Selain itu, mereka juga memiliki karakter bahasa Arab yang masih murni, sehingga lebih kuat dalam memahami nash al-Quran dan Hadis, misalnya intensitas penekanan kata perintah, atau konotasi makna dari suatu kata.

Dalam sebuah Hadis sahih Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, lalu orang-orang setelahnya, lalu orang-orang setelahnya. Kemudian datanglah golongan-golongan yang persaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” Tiga generasi awal itulah yang disebut dengan salaf, yaitu masa Rasulullah saw beserta sahabat, masa tabiin, dan masa tabi tabiin. Merekalah golongan yang dipastikan baik oleh Rasulullah saw. Sehingga golongan manapun yang berusaha untuk sama dengan mereka, juga akan berada dalam kebaikan seperti mereka. Golongan-golongan itu disebut dengan pengikut salaf atau salafi. Maka salafi bukanlah nama dari suatu golongan tertentu seperti yang diklaim oleh kaum Wahhabi, melainkan nama dari golongan manapun yang berusaha untuk meniru tiga generasi awal umat Islam.

Perubahan Sistematis

Tiga generasi itu, meski tak lebih dari tiga abad, telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan di sana-sini. Perubahan-meski beragam-membentuk satu warna; mempertahankan kebenaran agar Islam tetap sama seperti awal munculnya.

Dalam ranah akidah, awalnya para sahabat tidak berani untuk bertanya tentang hal-hal ghaib yang tak bisa diketahui kecuali dari wahyu, semisal qadhâ’-qadr dan rûh. Namun di masa tabiin, seiring dengan masuk Islamnya orang-orang non-arab yang telah memiliki keyakinan nyeleneh sebelumnya, para sahabat banyak melakukan perdebatan tentang tema-tema ‘sakral’ itu. Tidak lain, demi menjaga akidah yang benar.

Dalam ranah fikih, sebuah hadis tentang larangan banyak tanya, membuat para sahabat enggan bertanya tentang hukum yang belum ada penjelasannya, karena takut terjerembab pada ancaman dosa di hadis tersebut. Penggunaan akal (baca ra’yu) dalam memutuskan hukum juga merupakan hal yang aneh saat itu. Namun, saat Islam telah menyebar ke berbagai negara, mau tidak mau, akal digunakan dalam ‘memperlebar’ hukum fikih. Abdullah bin abbas ra misalnya, setelah hijrah ke Iraq justru dikenal dengan pakar ra’yu dalam memutuskan hukum, padahal di Makkah beliau sangat enggan menggunakannya, bahkan juga melarangnya. Sekali lagi, itu tidak lain untuk menjaga syariat Islam agar tetap sesuai dengan ‘keinginan langit’.

Selanjutnya di masa tabiin-atau tabiit-tabiin-muncullah al-fiqh al-fardi (hukum fikih terhadap kasus fiktif). Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebagai pelopornya. Dan akhirnya Imam Syafii melakukan kodifikasi aturan mengolah fikih (baca ushul fikih) pertama kali yang sebenarnya telah diterapkan sejak masa Nabi saw. Lalu di masa ulama khalaf (ulama setelah salaf), muncul pula al-qawâid al-fiqhiyah (benang merah dari beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh ulama fikih). Itu semua sangat penting perannya dalam menjaga fikih, agar hukum Islam tidak ditetapkan secara serampangan oleh orang yang tidak paham. Karena tentu saja, fikih bukanlah hukum ciptaan manusia yang bisa ditetapkan atas dasar kesepakatan, tapi fikih adalah aturan Tuhan (baca: nash).

Dalam ranah tasawuf, memang istilah-istilah seperti fanâ’, jadzb, syathh, tidak muncul pada tiga generasi itu, bahkan kata tasawuf sendiri pun juga masih dipertentangkan berasal dari mana. Namun, itu tidak berarti tasawuf hanya buatan atau campuran filsafat Yunani. Imam Malik yang tergolong seorang tabiit tabiin mengungkapkan, “Siapa yang [melaksanakan] fikih tapi tidak bertasawuf, maka dia fasik. Dan siapa yang bertasawuf tapi tidak [melaksanakan] fikih, maka dia kafir zindiq.” Perkataan Imam Malik ini menunjukkan bahwa penggunaan kata tasawuf memang telah ada sejak masa salaf, lebih-lebih tentang perilaku tasawuf itu sendiri.

Seorang sahabat bernama Suhaib ar-Rumi ditahan oleh Quraisy Makkah, hingga dia tidak bisa menyusul Rasulullah saw ke Madinah, kecuali menyerahkan seluruh hartanya. Maka ia tinggalkan harta, demi mencari ridha Allah dengan berhijrah ke Madinah. Maka turunlah ayat, “Dan di antara orang-orang ada seorang yang menjual dirinya demi mencari ridha Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 207)

Kisah Suhaib ini adalah contoh bagaimana para sahabat melakukan banyak cara demi mencari ridha Allah. Dan itu merupakan ruh dari tasawuf.

Barulah pada masa pasca salaf, istilah-istilah dalam dunia tasawuf muncul. Ragam pembahasan tentang sifat dan hati mulai marak. Tujuannya adalah sama seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat, yaitu menyucikan hati dan ikhlas mencari ridha ilahi.

Membangun Benteng

Ketika Nabi saw masih ada, dialog dan perdebatan tentang akidah menjadi hal yang tabu. Pemahaman terhadap ayat al-Quran dan hadis yang mutasyabih jarang-kalau enggan berkata tidak ada-yang memiliki pemikiran nyeleneh. Akan tetapi, seiring waktu, dengan semakin banyaknya orang masuk Islam, dan kian banyaknya ‘pemikiran’ baru di benak mereka, maka dialog, penjelasan, penakwilan, dan perumusan keyakinan dilakukan sebagai langkah antisipatif agar tidak terjadi kesalahan dalam meyakini akidah Islam.

Sejak masa sahabat saja, banyak dari mereka melakukan dialog dan perdebatan terhadap orang yang salah keyakinan. Ambil saja sebagai contoh, Ali bin Abi Thalib ra yang berdialog dengan seorang bapak tua dari Syam tentang Qadha dan Qadar. Padahal terdapat perintah Hadis Nabi saw untuk tidak berdialog tentang Qadar (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Misalnya juga penakwilan Abdullah bin Abbas ra terhadap kata ayd (Adz-Dzariyat [17]: 47) dengan makna kekuatan dan Mujahid ra yang menakwil kata wajhullâh (al-Baqarah [2]: 115) dengan kiblat.

Belum lagi dialog dan bantahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tabiin semacam Hasan al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, dan lain sebagainya.

Lalu saat pemerintah dikuasai kelompok Muktazilah dan memaksakan pemikirannya sekitar tahun 260 H, plus golongan Qadariyah yang juga merajalela dengan keyakinan menyimpangnya, semisal bahwa kebaikan adalah ciptaan Allah, sedangkan keburukan adalah dari setan. Maka Abu Hasan al-Asyari-dan dilanjutkan oleh muridnya al-Maturidi-tampil memberikan penolakan pemikiran dengan banyak melakukan dialog dan perdebatan. Mereka menjelaskan bagaimana keyakinan para sahabat dan tabiin serta bukti al-Quran, Hadis, dan data histori. Maka dari itu muncullah ilmu kalam yang mencakup rumusan-rumusan akidah seputar sifat Allah, qadhâ’-qadr, dan hal lain. Rumusan ini tidak lebih dari sekadar terminologi (pengistilahan) terhadap keyakinan yang telah ada sejak masa Nabi saw, seperti halnya ilmu nahwu sebagai terminologi gramatika bahasa Arab.

Selanjutnya pada kisaran abad ke-3 sampai 5 hijriah, ilmu filsafat mencuat ke permukaan. Informasi tentang filsafat Yunani kian hangat di dunia pemikiran Islam. Pemahaman tentang Tuhan, sifat-Nya, agama sebagai bagian sosilogis masyarakat, alam semesta, sains, dan lain sebagainya banyak berseberangan dengan apa yang ada pada Islam. Maka Imam Ghazali hadir sebagai penyeleksi ilmu filsafat-setelah sebelumnya beberapa ulama melakukan penolakan dan bantahan. Imam Ghazali memilah mana bagian filsafat yang sesuai dengan pemikiran Islam dan mana yang tidak. Rumusan beliau menjadi rujukan untuk memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam. Hingga saat ini, filsafat telah beradaptasi dengan Islam dan menjadi bagian dari studi keilmuan Islam.

Begitu pula dengan ulama kontemporer. Islam bergesekan dengan pemikiran baru yang jarang dibahas dalam ilmu kalam sebelumnya, semisal kesetaraan gender, pluralisme, reinkarnasi, atau juga pemikiran lama yang tampil dengan wajah baru, semisal takdir di tangan manusia, kematian Tuhan, ateisme. Para ulama melakukan penolakan, perumusan, penjelasan pemikiran Islam tentang topik-topik tersebut agar semua itu bisa lebur pada pemikiran Islam yang benar.

Walhasil, begitu ragamnya perubahan yang terjadi pada tiga generasi itu telah melahirkan konsep-konsep dalam berbagai segmen kehidupan islami. Konsep itu tak lain adalah untuk menyelaraskan perilaku umat di zaman berikutnya agar sama dengan Islam saat pertama kali turun. Dan siapapun yang bergerak untuk memahami konsep itu lalu mempraktekkannya dalam kehidupan, maka dialah salafi atau pengikut salaf. Wallahu a’lam.

(www.sidogiri.net)











Shanke Yadem : Kisah Orang Miskin Membangun Masjid

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Jumat, 23 Maret 2012 0 komentar

Mungkin kita tak percaya jika tidak melihat faktanya. Seorang yang tidak kaya, bahkan tergolong miskin, namun mampu membangun sebuah Masjid di Turki. Nama masjidnya pun paling aneh di dunia, yaitu “Shanke Yadem” (artinya:Anggap Saja Sudah Makan). Sangat aneh bukan? Dibalik Masjid yang namanya paling aneh tersebut ada cerita yang sangat menarik dan mengandung pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

Ceritanya begini : Di sebuah kawasan Al-Fateh, di pinggiran kota Istanbul ada seorang yang
wara’ dan sangat sederhana, namanya Khairuddin Afandi. Setiap kali ke pasar ia tidak membeli apa-apa. Saat merasa lapar dan ingin makan atau membeli sesuatu, seperti buah, daging atau manisan, ia berkata pada dirinya: Anggap saja sudah makan yang dalam bahasa Turkinya “ Shanke Yadem” .
Nah, apa yang dia lakukan setelah itu? Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli keperluan makanannya itu dimasukkan ke dalan kotak (tromol)…Begitulah yang dia lakukan setiap bulan dan sepanjang tahun. Ia mampu menahan dirinya untuk tidak makan dan belanja kecuali sebatas menjaga kelangsungan hidupnya saja.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun Khairuddin Afandi konsisten dengan amal dan niatnya yang kuat untuk mewujudkan impiannya membangun sebuah masjid. Tanpa terasa, akhirnya Khairuddin Afandi mampu mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid kecil di daerah tempat tinggalnya. Bentuknya pun sangat sederhana, sebuah pagar persegi empat, ditandai dengan dua menara di sebelah kiri dan kanannya, sedangkan di sebelah arah kiblat ditengahnya dibuat seperti mihrab. Akhirnya, Khairuddin berhasil mewujudkan cita-citanya yang amat mulia itu dan masyarakat di sekitarnyapun keheranan, kok Khairuddin yang miskin itu di dalam dirinya tertanam sebuah cita-cita mulia, yakni membangun sebuah masjid dan berhasil pula dia wujudkan. Tidak bayak orang yang menyangka bahwa Khairudin ternyata orang yang sangat luar biasa dan banyak orang yang kaya yang tidak bisa berbuat kebaikan seperti Khairuddin Afandi.

Setelah masjid tersebut berdiri, masyarakat penasaran apa gerangan yang terjadi pada Akhiruddin Afandi. Mereka bertanya bagaimana ceritanya seorang yang miskin bisa membangun masjid. Setelah mereka mendengar cerita yang sangat menakjubkan itu, merekapun sepakat memberi namanya dengan: “Shanke yadem” (Angap Saja Saya Sudah makan).

Informasi di atas saya dapat di sini, sungguh luar biasa. Kita belajar banyak dari kesederhanaan, ketulusan dan keikhlasan Khairuddin. Beramal bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja tidak harus menjadi kaya dulu. Bahkan banyak orang yang diberikan kekayaan oleh Allah lantas menjadi lupa untuk beramal. Harta yang digunakan Khairuddin untuk membangun mesjid diperoleh dengan cara yang halal dan itulah salah satu penyebab orang senang datang ke mesjid yang dibangunnya walaupun mesjid tersebut sangat sederhana. Semoga di Indonesia akan banyak orang-orang seperti khairuddin yang beramal bukan karena ingin di puji orang akan tetapi semata-mata mengharapkan Ridho dari Allah SWT, amien.(sumber)













Mengenang SYEKH MAHFUDZ AT -TIRMASI

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Kamis, 22 Maret 2012 0 komentar

Syekh Mahfudz At-Tirmasi, kelahiran Tremas, Jawa Timur, menjalani karier intelektualnya di Tanah Suci. Di Makkah pula, pengarang produktif ini tutup usia. Meskipun tidak pernah mengajar di pesantren yang didirikan kakeknya, Pesantren Tremas justru dikenal luas berkat reputasi keilmuan Syekh Mahfudz. Apa kehebatannya dalam mengarang kitab?
Nama lengkapnya Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi. Populer disebut Syekh Mahfudz Tremas. Dialah ulama Jawi paling berpengaruh pada zamannya. Lahir tahun 1258/1868 di Tremas, Pacitan, Jawa Timur, Mahfudz menghabiskan sebagian besar hidupnya di Makkah, tempat para kiai Jawa yang paling berpengaruh pada awal abad ke-20 menjadi murid-muridnya. Mahfudz amat berjasa dalam memperluas cakupan ilmu-ilmu yang di pelajari di pesantren-pesantren di Jawa, termasuk hadis dan ushul fiqh.
Meskipun tidak pernah mengajar di Pesantren Tremas, Mahfudz ikut mengangkat nama harum pondok yang didirikan kakeknya dari pihak ayah itu. Abdul Mannan Dipomenggolo, sang kakek, mendirikan Pesantren Tremas pada 1830. Sampai sekarang pesantren tua yang sering dihubung-hungkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini ini masih eksis, dan bias diakses lewat dunia maya. Sebelum mendirikan pesantrennya, Abdul Mannan belajar di Pesantren Tegalsari asuhan Kiai Kasan Besari (Hasan Basri), yang salah satu muridnya adalah pujangga Ronggowarsito. Setelah itu dia berangkat ke Timur Tengah dan belajar pada Sayyid Muhammad al-Shatta’ di Makkah dan pada Ibrahim Al-Bajuri, syeikh Al-Azhar. Setelah Abdul Mannan wafat pada 1862, putranya Abdullah menggantikan kepemimpinannya di Pesantren Tremas.
Muhammad Mahfudz adalah putra tertua Abdullah. Dia memperoleh pelajaran dasar agamanya dari sang ayah. Beranjak remaja, dia dikirim belajar ke Makkah. Dia belajar pada seorang ulama penganut mazhab Syafi’i yaitu Sayyid Bakri atau Abu Bakr b. Muhammad al-Shatta’ ad-Dimyati, putra guru kakeknya di Makkah. Sepanjang hayatnya, Mahfudz memang dekat dengan keluarga Shatta’. Keluarga terpelajar ini dari Dimyat, Mesir. Mahfudz bahkan diangkat menjadi anak, dan dikubur di tengah-tengah keluarga Shatta’. Mahfudz juga belajar pada kolega dan sekaligus rival Sayyid Bakri, yaitu Muhammad Sa`id Ba-Basil, yang menggantikan Ahmad bin Zayni Dahlan sebagai mufti Makkah dari mazhab Syafi’i. Dia juga belajar pada sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Makkah, seperti Syekh Nawawi Banten (Nawawi b. `Umar al-Jawi al-Bantani), `Abd al-Ghani al-Bimawi dan Muhammad Zainuddin al-Sumbawi, semuanya mengajar di Masjidil Haram.
Mahfudz tidak kembali ke Nusantara, memilih berkarier di Makkah, tempat dia menjadi guru yang ulung. Sewaktu Abdullah wafat pada tahun 1894, adiknya , Dimyati, yang menjadi kiai di Tremas. Anak-anak Abdullah lainnya adalah Kiai Haji Dahlan yang juga pernah belajar di Makkah. Sekembali dari Tanah Suci dia diambil menantu oleh Kiai Shaleh Darat Semarang; Kiai Haji . Muhammad Bakri yang ahli qira’ah, dan Kiai Haji Abdur Razaq, ahli thariqah dan mursyid yang punya murid di mana-mana.
Kiai Dimyati memang punya andil besar dalam memajukan pesantren Tremas. Tapi, berkat reputasi Mahfudz-lah Tremas menjadi dikenal lebih luas, meskipun, itu tadi, beliau tidak pernah mengajar di sana. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Kiai Haji Bishri Syansuri dan Kiai Abdul Wahhab Hasbullah, yang kelak mendirikan Nahdhatul Ulama di tahun 1926. Kita ketahui, ketiga kiai ini merupakan murid Syekh Mahfud yang paling terkenal dan diakui berkat kegiatan politik mereka di Tanah Air.
Dia juga mengajar sejumlah murid, dan beberapa di antaranya menjadi ulama yang berpengaruh, sebut misalnya `Ali al-Banjari, penduduk Makkah asal Kalimantan Selatan), Muhammad Baqir al-Jugjawi, wong Yogya yang juga bermukim di Makkah, Kiai Haji Muhammad Ma`shum al-Lasami, pendiri pesantren Lasem, Jawa Tengah, `Abdul Muhit dari Panji Sidarjo, pesantren penting lainnya dekat near Surabaya. Memang banyak di antara murid Syekh Mahfudz yang mendirikan pesantren. Kiai Hasyim sendiri adalah pendiri Pesantren Tebu Ireng, dan kiai pertama yang menjarkan kumpulan hadis Bukhari. Sedangkan Kiai Bihsri, menantunya, pendiri pesantren Tambakberas, yang juga pernah menjadi rais ‘aam PB NU. Kedua kiai besar ini, kita ketahui, adalah engkongnya Abdurrahman Wahid, mantan presiden kita itu.
Penulis Produktif
Muhammad At-Tarmasi boleh dibilang penulis produktif. Dia mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Sayang, banyak karyanya yang belum sempat dicetak, dan beberapa di antaranya bahkan dinyatakan hilang. Salah satu bukunya yang dicetak ulang dan digunakan di pesantren sampai sekarang adalah “Manhaj dhawi al-Nazar”, salah satu karya tingkat lanjut mengenai tata bahsa Arab. Tapi yang paling terkenal adalah “Mauhibah Dzi al fadl” . Kitab fiqh empat jilid ini merupakan syarah atau komentar atas karya Abdullah Ba Fadhl ”Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah”. Kitab ini boleh dibilang jarang diajarkan di pesantren, lebih banyak digunakan oleh kiai senior sebagai rujukan dan sering dikutip sebagai salah satu sumber yang otoritatif dalam penyusunan fatwa oleh para ulama di Jawa.
Dua kitabnya di bidang ushul adalah ”Nailul Ma’mul”, syarah atas karya Zakariyya Anshari ”Lubb Al-Ushul” dan syarahnya ”Ghayat al-wushul”, dan ”Is’af al Muthali”, syarah atas berbagai versi karya Subki ”Jam’ al-Jawami’. Sebuah kitab lainnya mengenai fiqh yaitu ”Takmilat al-Minhaj al-Qawim”, berupa catatan tambahan atas karya Ibn Hajar al-Haitami “Al-Minhaj al-Qawim”.
At-Tarmasi juga menaruh minat pada seni baca Al-Qur’an (qira’ah). Untuk itu pula, dia menulis kitab “Al Fawaid at Tarmisiyah fi Asanid al- Qiraat al Asy’ariyah”, Al- Budur al Munir fi qiraah al-Imam Ibnu Katsir”, ”Tanwir ash Shadr fi Qiraah al Imam Abi ’Amr”, ”Al-Fuad fi Qiraat al Imam Hamzah”, ”Tamim al Manafi fi Qiraat al-Imam Nafi’, dan ”Aniyah ath Thalabah bi Syarah Nadzam ath Tayyibah fi Qiraat al Asy’ariyah.”
Selain itu, ada dua karya lainnya tentang bibliografi dan riwayat pengarangnya. Yakni “Kifayat al-mustafid li-ma `alla min al-asanid, mengenai jalur transmisi (sanad) dari para pengarang kitab-kitab klasik sampai guru-gurunya, dan “As-Saqayah al-Mardhiyyah fi Asma’i Kutub Ashhabina al- Syafiiyah”, kajian atas karya-karya fiqih mazhab Syafi’i dan riwayat para pengarangnya.
Diceritakan dalam kitab “Kifayatul Mustafid “ bahwa Syekh Mahfudz selain masyhur sebagai seorang alim yang khusyu’ dalam ibadah, tawadlu’ dalam tingkah laku, ridha dan sabar didalam sikap, juga sebagai seorang ahli dalam Hadist Bukhari. Beliau diakui sebagai seorang isnad (mata rantai) yang sah dalam pengajaran Shahih Bukhari. Ijasah ini berasal langsung dari Imam Bukhari itu sendiri yang ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu dan diserahkan secara berantai melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai karya Shahih Bukhari, dan Syeikh Mahfudz a merupakan mata rantai yang terakhir pada waktu itu.
Dalam menulis, konon Syekh Mahfudz ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hira menjadi tempatnya mencari inspirasi. Dia biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama itu. Kecepatan Mahfudz dalam menulis kitab, juga boleh dibilang istimewa. Khabarnya, kitab ”Manhaj Dhawi al-Nazhar” beliau selesaikan dalam 4 bulan 14 hari. Mahfudz mengatakan bahwa kitab ini ditulis ketika berada di Mina dan Arafat.
Mengingat karyanya yang berbagai-bagai itu, tidak berlebihan kiranya jika Syeikh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatra Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an, menjuluki Mahfudz At-Tarmasi: al-alamah, al-muhadits, a- musnid, al- faqih, al- ushuli dan al- muqri.
Yang menarik, kitab-kitab karangan Syeikh Mahfudz tidak hanya dipergunakan oleh hampir semua pondok pesantren di Indonesia, tapi konon banyak pula yang dipakai sebagai literatur wajib pada beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti di Marokko, Arab Saudi, Iraq dan negara-negara lainnya. Bahkan sampai sekarang di antara kitab-kitabnya masih ada yang dipakai dalam pengajian di Masjidil Haram.
Muhammad Mahfudz At-Tarmasi wafat pada hari Rabu bulan Rajab tahun 1338 Hijrah bertepatan dengan tahun 1920 M.
Blow-up:
1. Muhammad At-Tarmasi boleh dibilang penulis produktif. Dia mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Sayang, banyak karyanya yang belum sempat dicetak, dan beberapa di antaranya bahkan dinyatakan hilang.
2. Di antara murid-murid Syekh Mahfud Tremas yang berasal dari Indonesia adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Kiai Haji Bishri Syansuri dan Kiai Abdul Wahhab Hasbullah, yang kelak mendirikan Nahdhatul Ulama di tahun 1926. Kita ketahui, ketiga kiai ini merupakan murid Syekh Mahfud yang paling terkenal dan diakui berkat kegiatan politik mereka di Tanah Air. Dia juga mengjar sejumlah murid, dan beberapa di antaranya menjadi ulama yang berpengaruh, sebut misalnya `Ali al-Banjari, penduduk Makkah asal Kalimantan Selatan), Muhammad Baqir al-Jugjawi, wong Yogya yang juga bermukim di Makkah, dan Kiai Haji Muhammad Ma`shum al-Lasami, pendiri pesantren Lasem, Jawa Tengah
Sumber artikel











FORUM DISKUSI

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Rabu, 21 Maret 2012 0 komentar

Syaikh Yasin Isa Al-Fadani , Ensiklopedia Islam Berjalan

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Selasa, 20 Maret 2012 0 komentar


Dalam dekade lima puluhan yang lalu,halaqah hadis SYAIKH MUHAMMAD YASIN AL PADANGI dibanjiri ramai penuntut dari dalam dan luar Mekkah,untuk mendengar kuliah hadis yang disampaikan oleh Syeikh Yasin serta memperoleh sanad hadis yang istimewa.Penuntut-penuntut dari Malaysia juga tidak ketinggalan untuk turut bersaing dalam halaqah ini.

Tokoh yang sedang diperkatakan disini ialah Syaikh Yasin seorang ulama ensiklopedia.Beliau pakar dalang bidang hadis .fiqh,usul fiqh dan ilmu falak. Kepakaran beliau dalam bidang hadis dapat dilihat pada gelaran para ulama pada beliau iaitu “Musnid Dunya”Nama penuh beliau Abu al-Faid Muhammad Yasin Bin Isa al-Fadani ,dilahirkan pada tahun 1335 H/1916 M di daerah Padang Indonesia dan wafat di Makkah pada 28 Dzulhijjah 1410 H/21 Julai 1990 M pada hari Khamis malam Jumaat.

Riwayat Syeikh al-fadani yang coba Saya paprkan ini, bukan ulama tempatan yang biasa diperkenalkan melalui akhbar dan majalah, bukan seorang Tuan guru yang pernah membuka pondok lalu namanya terukir bersama nama kampung, pondok dan jama’ahnya. Tetapi beliau seorang Ulama yang sebanding dengan nama seperti Imam Abu al-Taib Syamsyuddin al-‘Azim Abadi dan Syeikh Muhammad Khalil as-Saharanpuri. Syeikh al-Fadani bertemu dengan dua nama ini dalam satu kurun mereka merupakan pengarang kitab Syarah Sunan Abu Daud, salah satu koleksi hadis yang mahsyur.

Tokoh ini seorang ulama yang terkenal luas pengetahuannya dalam bidang
hadis ,terutama dalam pengkhususan sanad dan musalsalat. bahkan beliau diberi julukan Musnid al-‘Asr.

Tidak terkejut jika Syeikh al-Fadani dikejar dan diburu oleh pencipta sanad hadis untuk mendapatkan silsilahnya yang lebih tinggi.Kepentingan sanad dalam perawian hadis digambarkan oleh Imam Abdullah Ibn Mubarak rahimullah ta’ala sebagai keperluan untuk mempertahankan agama Islam itu sendiri..Sehubungan ini, beliau berkata :

لولا الاسناد لقال من شاء ما شاء الاسناد من الدين
“Sanad sebahgian dari agama ,tanpa sanad orang bebas bercakap apa yang disukainya”

Sejarah mencatatkan para ulama hadis pernah merantau berbulan lamanya demi mendapatkan satu hadis menelusuri sanad yang tinggi dan dipercayai ada di negeri –negeri tertentu,mereka sedia mengeluarkan biaya yang besar,hanya untuk mendapatkan satu hadis.

Syeikh Yasin murid yang sangat rajin dan tekun dalam menuntut ilmu dan belajar pada ulama , maka tidak heran kalau beliau mempunyai banyak guru, diantara guru-gurunya adalah:

1. Syeikh Muhammad Ali bin Husain bin Ibrahim al-Maliky al-Makky

2. Syeikh Abi Ali Hasan bin Muhammad Massath al-Makky

3. Syeikh Umar bin Hasan Al-Mahrasi al-Maliky

4. SyeikhUmar Bajunaid (Mufti as-Syafi’iyah)

5. Syeikh Said bin Muhammad al-Yamani

6. Syeikh Hasan Yamani

7. Syeikh Muhsin bin Ali al-Musawi al-Falembani al-Makky

8. Syeikh Abdullah Muhammad Ghozi al-Makky

9. Syeikh Ibrahim bin Dawud al-Fathoni al-Makky

10. Sayyid Alawy bin Abbas al-Maliky al-Makky

11. Sayyid Muhammad Amin Kutbi al-Makky

12. Syeikh Ahmad al-Mukhollalati al-Sami al-Makky

13. Syeikh Kholifah al-Hanadi al-Nabhani al-Bahraini al-Makky

14. Syeikh Ubaidillah bin al-Islam al-Sindi al-Duyubandi

15. Syeikh Husain Ahmad al-Faidz Abbadi

16. Syeikh Abdul Qodir bin Taufiq al-Halabi

17. Syeikh Muhammad Abdul baqi al-Laknawy al-Ansori

18. Syeikh Abdul hadi al-Midrasi

Mereka adalah sebagian dari guru-guru Syeikh Yasin dalam belajar kitab dan Ijazah Sanad Perawi hadis, dan masih banyak lagi guru-guru beliau, bahkan dalam ilmu Riwayat Sanad hadist beliau banyak menemui ulama-ulama dari berbagai Negara sampai 700 guru baik lelaki maupun perempuan hanya demi mendapatkan Riwayat Sanad hadist.

KARYA ILMIAH DAN KARANGANNYA

*Dalam ilmu Hadis
1. Al-Durul al-Mandhut Sarah Sunan Abi Dawud 3 Jilid
2. Fatfu al-Allam Sarah Bulughu al-Maram 4 juz

*Ilmu Ushul Fiqh dan Qowaidul Fiqh
1. Bughyatu al-Mustaq sarah Luma’ Syeh Aby Ishaq 2 Juz
2. Hasiyah ala al-Ashbah wal al-Nadhoir fil furu’ al- Fiqhiyyah lil-Suyuty
3. Tatmimu al-Duhul Takliqot ala Madkholi al-Wusul ila al- Ilmi al-Ushul
4 . Al-Durru al-Nadhid hawasyi ala kitab al-Tamhid lil-Asnawi Al-Fawaid al-Janiyyah hasiyah ala al-Mawahibu al-Saniyyah ala qowaid al-Fiqhiyyah
6. Ta’liqot ala al-luma’ al-Syeh Abi Ishaq
7. Idhoatu al-Nur al-Lami’ syarah al-Kaukabu al-Syathi’ (nadhom) Jam’u al-Jawami’
8. Hasiyah ala al-Talattufi sarah al-Ta’arruf fi al-Ushul Fiqhi
9. Nailu al-Ma’mul hasyiah ala Lubbi al-Ushul wa sarkhihi Ghoyatu al-Wushul

*Dalam berbagai ilmu
1. Janiu al-Tsamar syarah Mandhumah Manazil al-Qomar
2. Al-Muhtadhor al-Muhadzab fi Ihtihroji al-Auqat wa al- qobilah bi al-Rub’i al-Mujib
3. Al-Mawahibu al-Jazilah sarah Tsamratu al-Wasilah fi al- Falaki
4. Tastnifu al-Sam’i Muhtashor fi ilmi al-Wadh’i
5. Bulghotu al-Mustaq fi ilimi al-Istiqaq
6. Manhalu al-Ifadah hawasi ala Risalati al-Bahsi Lathosyi Kubri Zadah
7. Husnu al-Shiyaghoh syarah kitab Durusi al-Balaghoh
8. Risalah fi al-Mantiqi
9. Ithafu al-Kholan Taudhihu Tuhfatu al-Ikhwan fi Ilmi al- Bayan li al-Dardiri
10. Al-Risalah al-Bayaniyyah ala Thoriqati al-Sual wa al-Jawab

*Dalam Ilmu Riwayat Sanad
1. Madmahu al-Wujdan fi Asanidi al-Syeh Umar Hamdan 3 Juz
2. Ithafu al-Ihwan bi Ikhtishori Madmahi al-Wujdan 2 Juz
3. Tanwiru al-Bashirah bi Turuqi al-Isnad al-Syahirah
4. Faidzu al-Rahman fi Tarjamati wa Asanidi al-Syeh Kholifah bin Hamdi al-Nabhan
5. Al-Qaulu al-Jamil bi Ijazati al-Sayyid Ibrahim Aqil
6. Faidzu al-Muhaimin fi Tarjamati wa Asanidi al-Sayyid Muhsin
7. al-Maslak al-Jaly fi Tarjamati wa Asanidi al-Syeh Muhammad Aly
Al-Waslu al-Sati fi Tarjamatiwa Asanidi al-Sihab Ahmad al-Mukhollalati
9. Asanidu Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki
10. Al-Irsyadat fi Asanidi Kutub al-Nahwiyyah wa al-Shorfiyyah
11. Al-Ujalah fi al-Ahaditsi al-Musalsalah
12. Asma al-Ghoyah fi Asanidi al-Syeh Ibrahim al-Khozami fi al-Qiroah
13. Asanidu al-Kutub al-Hadisiyyah al-Sab’ah
14. Al-Iqdu al-Farid min Jawahiri al-Asanid
15. Ithafu al-Bararah bi Ahadisi al-Kutub al-Hadisiyyah al- Asyrah
16. Al-Riyadz al-Nadzrah fi Ahadisi al-Kutub al-Hadisiyyah al- Asyirah
17. Ithafu al-Mustafid bi Nuri al-Asanid
18. Qurratu al-Ain fi Asanidi A’lamu al-Haramain
19. Ithafu uli al-Himam al-Aliyyah bi al-Kalam ala al-Hadist al- Musalsal bi al-Awwaliyyah
20. Waraqat fi Majmuati al-Musalsalat wa al-Awa’il wa Asanid al-Aliyyah
21. Al-Durru al-Farid min Durari al-Asanid
22. Bughyatu al-Murid min Ulumi al-Asanid 4 Jilid
23. Al-Muqtathaf min Ithafi al-Akabir bi Marwiati Abdul Qadir al-Shodiqi al-Makky
24. Ihtishor Riyadhi Ahli Jannah min Atsari Ahli Sunnah li Abdi al-Baqi al-Ba’li al-Hambali
25. Faidzu al-Ilah al-Aly fi Asanidi Abdul Baqi al-Ba’li al- Hambali
26. Arbauna Haditsan mi Arba’ina Kitaban an Arbaina Syaikhan
27. Al-Arba’una al-Buldaniyyah Arba’una Haditsan an Arba’ina Syaihan an Arba’ina Baladan
28. Arbauna Hadistan Musalsal bi al-Nuhad ila al-Jalal al- Suyuti
29. Al-Salasilu al-Muhtarah bi ijazati al-Mu’arrih al-Sayyid Muhammad bin Muhammad Ziarah
30. Tidzkaru al-Masafi bi Ijazati al-Fahri Abdullah bin Abdul Karim al-Jarafi
31. Al-Nafhatu al-Makkiyah fi Al-Asanidi al-Makkiyah Ijazah li al-Nabighoh al-Khodhi Muhammad bin Abdullah al- Umari
32. Fathu al-Rabbi al-Majid fima li Asyakhi min Fara’idi al- Ijazah wa al-Asanid
33. Silsilatu al-Wuslah Majmu’ah Muhtarah min al-Ahadisti al- Musalsal
34. Al-Kawakibu al-Darari bi ijazati mahmud Said mamduh al-hohiri
35. Faidhul Mabdi bi ijazati al-Syeh Muhammad Iwad Mankhos al-Zubaidi
36. Al-Faidhu al-Rahmani bi Ijazati Samahati al-Allamah al Kabir Muhammad Taqi al-Ustmani

TULISAN ATAU TA’LIQ BELIAU DALAM TSABAT
1. Nihayatu al-Mathlab ala al-Abbi fi Ulumi al-Isnad wa al-Adab
2. Risalatani ala Tsabati al-Amir (al-Durru al-Nadhir wa al-Raudhu al-Nadhir fi Majmu’i al-Ijazat bi Tsabati al-Amir)
3. Risalati ala al-Awa’il al-Sunbuliyyah (al-Ujalah al-Makkiyyah wa al-Nafhatu al-Makiyyah )
4. Waraqat ala al-Jawahir al-Tsamin fi Arba’I an Hadistan min Ahadisti Sayyidi al-Mursalin, li al-Ajluni
5. Ithafu Albahi al-Sary ala Tsabati Abdul Rahman al-Kazbary
6. Ta’liqat ala Kifayati al-Mustafid li al-Syeh al-Turmusy
7. Tahqiqu al-Jami’ al-Hawi fi Marwiyati al-Syarqawi

Perintis Madrasah Banat

Karena keprihatin beliau pada masyarakat Islam maka pada bulan Rabiulawal tahun 1362 H Syeikh Yasin merintiskan dan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah banat atau putri di Syamiyyak Makkah al-Mukaramah. Perjalan Madrasah banat ini dari tahun ke tahun berkembang pesat, hal ini terbukti semakin banyaknya pelajar dan alumni, karena Madrasah banat ini adalah yang pertama di kota Makkah bahkan di kerajaan Saudi Arabia, sehingga pada tahun 1347 H didirikan Maha’ad Muallimat.

Syeikh Yasin wafat pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 28 Dzulhijjah 1410 H disholatkan di masjid al-Haram dan dimakamkan di pemakaman Ma’la Makkah al-Mukarramah.
(Sumber Artikel)










MENCINTAI AHLUL BAIT SECARA PROPORSIONAL

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Minggu, 18 Maret 2012 1 komentar


Oleh: KH. Muhyiddin Abdusshomad

Dalam keyakinan ASWAJA, salah satu kewajiban umat Islam adalah mencintai Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhamad SAW. yang dimaksud dengan Ahlul Bait adalah Ahlul Kisa' (beberapa orang yang pernah diselimuti oleh Rasulullah SAW.), yakni Sayyidah Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina husein (beserta seluruh keturunan)nya, Radliyallahu anhum (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi SAW. yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab ayat 6).

Kecintaan yang dimaksud tetap berpedoman pada prinsip seimbang (Tawazzun), tengah-tengah (tawassuth) tengah lurus (I'tidal), serta tidak berlebih-lebihan karena menanamkan fanatisme buta kepada Ahlul bait Nabi SAW. dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. bahkan pada tinkat trtentu tanpa disadari justru menistakan Ahlul bait Nabi SAW. sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut (Taqiyyah). padahal Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah SWT. dari prilaku yang kotor dan tercela(QS. Al-Ahzab 33)

telah maklum bagi seluruh umat Islam bahwa sayyidina Ali KW itu dijuluki "laitsu bani ghalib"pendekar yang tak terkalahkan dalam setiap pertempuran, sangatlah tidak mungkin jika beliau bersikap taqiyah, apalagi menganjurkanya.

salah sau contoh adalah sikap kelompok yang telalu berlebihan kecintaannya tehadap sayyidina Ali KW. dalam keyakinan mereka ketika sayyidina Ali tidak terpilih menjadi kholifah pertamaoleh mayoritas sahabat, ia marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan menyebarkan caci maki, dan kelak diakhir zaman, oang-orang yang dianggap merampas jabatanya akan dihidupkan kembali untuk dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh sayyidina Ali KW. beserta para putra dan pengikutna untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak lama, sebagaimana dalam i'tiqad adanya raj'ah.

kepercayaan ini memang berawl dari kecintaaan yng berlebihan kepada sayidina Ali KW, namun dampk yang diakitkan cukup merisaukan, karena hal ini justru menggambarkan potret buram Ahlul Bait nabi SAW. yng suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan demdam kesumat, gila jabatan dan tidak berperikemanusiaan.

dalam keyakinan ASWAJA, hal itu mustahil akan tejadi pada Ahlul Bait nabi Muhammad SAW, krena mreka bagaikan mutiara-mutiara yang berkilauan nan bersih dari sikap dan perilaku yang mengotorinya.

memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian Ahlil bait dan para sahabatnya, tetapi hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman.Allah SWT telah memberikan jaminan, sebagaimana dalam firmanya : محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم 0الآية) الفتح : 29 " muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah bersikap tegas terhadap orng-orang kafir, tetapi senantiasa memelihara kasih sayang diantara sesama mereka. (QS. Al-fath 29)

keyakinan ini bukan sekedar isapan jempol semata, tetapi didasarkan pada fakta sejarah (dari berbagai literatur, baik dari sumber Ahlus sunnah maupun Syi'ah) yang menyatakan bahwa diantara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhamad SA ada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena Allah SW, tidak ada permusuha dan dendam kesumat. diantaranya adalah pernyataan Sayyidina Abu Bakar RA. tentang kecintaan beliau kepada Ahlul Bait Nabi SAW: عن عائشة رضي الله عنها. قال ابو بكر رضي الله عنه : لقرابة رسول الله صلى الله عليه وسلم أحب الي أن أصل من قرابتي. (صحيح بخارى, 3730

"dari A'isyah RA sesungguhna abu Bakar berkata: sesungguhnya kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada ahlul baitku sendiri (Shohih Al-bukhori, 3730)

Sayyidina Umar RA juga merupakan salah seorang sahabat yang telah memperhatikan danmemuliakan ahlul bait nabi SAW. simak hadits berikut ini : عن ابن عباس رضى الله عنه قال : خاطبنا عمر رضى الله عنه على منبر رسول اله صلى الله عليه وسلم فقال: علي أقضانا وأبي أقرؤنا (صحيح بخارى 4121

" dari Ibn Abbas ia bercerita: Sayyidina Umar pernah berkhutbah kepada kami diatas mimbar rasululah SAW, ia berkata : sayidina Ali adalah orng yang paling ahli dibidang hukum, dan Ubay aalah orang yng paling fasih bacaanya.(Shohih Al-bukhori, 4121)

عن عقبة بن الحارث قال: صلى ابو بكر رضى الله عنه العصر ثم خرج يمشى فرأ الحسن يلعب مع الصبيان فحمله على عاتقه, وقال بأبي شبيه بالنبي لاشبيه بعلي وعلي يضحك (صحيح البخارى 3278

" dari Uqbah bin Harits ia berkata ' suatu ketikaAbu Bakar melaksanakan sholat ashar. setelah itu ia berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain-main dengan ana sebaya. Abu Bakar kemudian menggendongnya seraya berkata ;sungguh anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali, mendengar pernyataan ini Ali tertawa. (Shohih Al-bukhori, 3278). senda gurau tersebut tentu tidak akan terjadi jika diantara keduanya ada permusuhan. rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat Nabi SAW itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan sayidina ali KW yang artinya " dari Muhammad bin Hanafoyah, ia berkata, " saya bertanya kepada ayahku 9Ali bin Abi Thalib KW) siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah? Sayyidina Ali menjawab"Sayyidina Abu BakarRA." aku bertanya lagi, kemudian siapa lagi? Sayyidina ali menjawab "sayyidina Mar RA'. dengan sedikit ragu aku bertanya lagi, kemudian siapa lagi? Sayyidina Ali menjawab 'Sayyidina Utsman bin Affan RA." lalu aku berkata, "kemudian engkau wahai ayahku" Sayyidina Ali KW menjawab (seraya merendakan diri) "tidak, aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim laiinnya.(Sunan Abi Dawud, 4013)

عن ابن عمر رضى الله عنه قال وضع عمر بن الخطاب رضى الله عنه بن المنبر والقبر فجاءعلي رضى الله عنه حتى قام بين يدي الصفوف فقال هو هذا ثلاث مرات ثم قال رحمة الله عليك ما من خلق الله تعالى أحب إلي من أن ألقاه بصحيفته النبي صلى الله عليه وسلم من هذا المسجى عليه ثوبه (مسند أحمد
" dari ibn Umar RA. ia b erkata " ketika janazah Sayyidina Umar diletakkan diantara mimbar dan makam rasulullah SAw, Sayyidina ali datang dan berdiri di shaf terdepan seraya mengatakan "inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya. mudah-mudahan Allah SWTmemberikan rahmatnya kepadamu. tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu Allah SWT (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku catatan Nabi SAW, selain dari yang terbentang ditengah-tengah kalian ini (yakni janazah sayyidina umar).' (Musnad Ahmad, 823)

Ada beberapa hal yang dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali KW tersebut. pertama, penghormatan Sayyidina Ali yang begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau. tidak ada rasa dendan atau merasa tersaingi apalagi didzalimi. kedua kerendahan hati Sayyidina Ali KW. dalam kasitas beliau sebgai Ahlul Bait, tidak ada perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan "aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya". ketiga mustahil beliau melakukan taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu, sebab pujian Sayyidina Ali KW diungkapkan pada saat orang yang disanjung tersebut telah meninggal dunia (hadits riwayat Ahmad), bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifahseperti dalan hadits riwayat Abu Dawud dimuka. data tersebut tidak hanya dicata dalam kitab-kitab Ahlussunnah, dapat ditemukan pula dalam kitab-kitab syi'ah, misalnya dalam kitab Talkhis As-Syafi (juz. II, hal. 48) Ass-Syafi (hal.428) dan lain lain.

Dalam kitab-kitab sunni juga banyak diriwayatkan penghormatan sayyidah A'isyah RA kepada sayyidah fathimah RA.:

عن جميع بن عمير التيمي قال : دخلت ومعي عمتي على عائشة فسالت : أي الناس كان أحب إلى رسول الله قلى الله عليه وسلم؟ قالت فاطمة فقيل : من الرجال؟ فقالت: زوجها إت كان ما علمت صواما قواما (رواه الترمذى

" jami bin Umair al-Taymi berkata, suatu saat aku bersama bibiku menemui A'isyah dan aku bertanya kepada beliau: siapakah orang yang paling dicintai oleh rasulullah SAW,? Sayyidah A'isyah menjawab: ialah Fathimah. ditanyakan lagi kepada beliau, kalau dari kalangan laki-laki? jawa Sayyidah A'isyah: ialah suaminya (sayyidina Ali) karena aku tahu dia itu rajin b erpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab. (HR> Tirmidzi, 3873)

Mungkinkah Sayyidah A'isyah RA. menyampaikan hadits tersebut jika dilubuk hatinya ada dendam dan iri hati kepada Sayyidah Fathimah RA. atau kepada Sayyidina Ali KW? jawabnya: tentu tidak mungkin, karena hadits tersebut menginformasikan keutamaan sayyidind Ali KW dan Sayyidah Fathimah RA. hadits senada banyak sekali, diantaranya diriwayatkan oleh Al-Bukhori juz 4, 247; Muslim juz 7, 142-143.

Demikianlah teladan indah dari Ahlul Bait yang disucikan oleh Allah dari sifat-sifat yang kotor dan barang tentu umat Islam harus meneladani sebagi wujud kecintaanya kepada mereka. sungguh sulit dinalar apabila ada suatu ajaran yang menggambarkan Ahlul Bait sebagi sosok yang mengajarkan caci maki sebagai simbol dendam dan sakit hati. lebih tidak masuk akal lagi apabila yang menjadi bidikan umpatan dan sumpah serapahnya adalah orang-orang yang sangat dicintai dan dihormati. tanpa mereka sadari sikap tersebut justru meruntuhkan derajat kesucian Ahlul Bait itu sendiri atau sama halnya menistakan mereka.














Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
INGAT, PEMILU / PILKADA JANGAN GOLPUT :
SATU SUARA ADALAH SATU HARAPAN JIKA SATU SUARA TERBUANG BERARTI SATU HARAPAN HILANG
JIKA ANDA GOLPUT ANDA KEHILANGAN KESEMPATAN MEMPERBAIKI BANGSA INI

PEMBERITAHUAN LAMAN INI MENERIMA SUMBANGAN ARTIKEL KEASWAJAAN, KEBANGSAAN DAN KEINDONESIAN Kirimkan Artikel anda ke : alhasan-petarukan@gmail.com