English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
NAHDLATUL ULAMA BERKOMITMEN TETAP MEMPERTAHANKAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia

Foto foto Kegiatan Rotibul Kubro Petarukan

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Sabtu, 27 Oktober 2012 0 komentar

Tanggal 26 Oktober kemarin bertempat di TPQ AL FUDLOLA Petarukan, Jama'ah ROTIB AL KUBRO Musholla baitul Hasan Keboijo Petarukan menyelenggarakan kegiatan rutinan pembacaan rotibul Kubro. Acara ini diadakan tiap malam Sabtu dengan tempat yang bergilir di rumah jama'ah rotib
Seperti biasa, pembacaan rotib al kubro ini diimami oleh Kyai Asrori Ahmad Al-Hafidz.Hadir pada waktu itu sekitar 50an orang.















Foto foto pemotongan hewan kurban Idul Adlha 2012-1433

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Jumat, 26 Oktober 2012 0 komentar

Seperti tahun tahun sebelumnya, idul adlha tahun ini pun Musholla Baitul Hasan Keboijo Petarukan menyelenggarakan pemotongan dan pembagian kurban. untuk tahun ini jumlah kambing kurban sedikit berkurang dibanding tahun kemarin, kali ini hanya ada 8 kambing, sedang idul adlha tahun kemarin 10 ekor kambing, adapun jumlah sapi tetap, yakni satu ekor. Sejumlah 15 orang jama'ah musholla yang berkurban tahun ini adalah ...(menyusul..)



Wasiat KH. Hasyim Asy'ari

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Minggu, 21 Oktober 2012 0 komentar

Al Ghazali menceritakan sebuah kisah, bahwa disebuah perbukitan nan elok, berdirilah sebuah rumah nan indah dan sedap dipandang mata. Disekeliling rumah itu dirimbuni pelbagai pepohonan yang rindang. Halamannya penuh dengan rerumputan dan bunga-bunga yang menebar keharuman. Begitu mempesona dan memberikan rasa nyaman bagi siapapun yg menghuninya, karena dirawat dengan perawatan yang alami.
Di kesenjaan usianya, si empunya rumah tersebut berwasiat kepada anaknya agar seantiasa menjaga dan merawat pohon dan rumput-rumput itu sebaik mungkin. Begitu pentingnya, samapi-sampai  ia berkata “Selama engkau masih bertempat tinggal dirumah ini, jangan sampai pohon dan tanaman ini rusak, apalagi hilang”.

Ketika tiba saatnya si empunya rumah meninggal dunia, sang anak menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh mendiang ayahnya dengan sungguh-sungguh. Rumah itu betul-betul  dirawat, demikian pula pohon dan rumputnya. Tidak hanya itu, si anak kemudian berinisiatif untuk mencari jenis tanaman lain yang menurutnya lebih indah dan lebih harum untuk ditanam dihalaman rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda untuk dilihat dan dinikmati.
Si anak berbunga bunga hatinya. Dibenaknya terlintas kebanggaan bahwa dirinya telah berhasil menjalankan amanah dengan menjaga pepohonan dan rerumputan yang menjadi penyejuk rumah lebih dari yang diperintahkan oleh orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yang ditanam si anak mengalahkan “rumput asli” baik dari segi keelokan maupun harumnya.

Namun yang patut disayangkan, tanaman dan rumput yang pernah diwasiatkan oleh ayahnya akhirnya ditelantarkan, sebab menurutnya sudah ada rumput dan tanaman lain yang lebih bagus, lebih sejuk dipandang, lebih harum dan sebagainya. Bahkan saat “rumput asli” tersebut rusak, tak ada rasa penyesalan di hati si anak. “Toh sudah ada tanaman dan rumput yg lebih bagus” pikirnya.
Tetapi anehnya, ketika “rumput asli” peninggalan orang tuanya itu rusak dan musnah tak tersisa, bukan kenyamanan dan ketentraman yg didapat. Karena ternyata, rumah tersebut lambat laun menjelma menjadi tempat istirahat yang menakutkan. Betapa tidak, rumah tersebut dimasuki berbagai macam ular, baik besar maupun kecil yang membuat si anak terpaksa harus meninggalkan rumah tersebut.

Mencermati kisah ini, Al Ghazali memaknai wasiat orang tua tersebut dengan dua hal:
Pertama, agar si anak dapat menikmati keharuman rumput yang tumbuh disekitar rumahnya. Dan makna ini dapat ditangkap dengan baik oleh nalar si anak.
Kedua, agar rumah tersebut aman. Sebab aroma rumput dan tanamn tersebut dapat mencegah masuknya ular kedalam rumah yang tentu berpotensi mengancam keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar si anak. ( Qodliyyah al Tasawwuf al Munqidz min al Dlolal, 140 ).

Kisah ini sangat relevan jika di analogikan dengan wasiat syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk menghindari ajaran beberapa tokoh yg menurut beliau tidak layak untuk dijadikan panutan oleh ummat islam indonesia, karena banyak hal yang bertentangan dengan apa yang diyakini dan diamalkan oleh ummat islam Indonesia yang dibawa oleh wali songo.

Kata Syaikh Hasyim asy’ari, sebagaimana telah maklum bahwa kaum muslimin di indonesia khususnya tanah jawa sejak dahulu kala menganut satu pendapat, satu madzhab dan satu sumber. Dalam fiqih, menganut madzhab Imam Syafi’i, dalam ushuluddin menganut madzhab Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf menganut madzhab imam Ghazali dan Al junaidi.
Kemudian pada tahun 1330 H, muncullah berbagai kelompok dan pendapat yang bertentangan serta tokoh yang kontroversial yang berasal dari timur tengah, khusunya dari saudi.

Untunglah masih ada kelompok yang tetap konsisten dengan ajaran ulama salaf dan berpedoman pada kitab kitab mu’tabaroh/representatif, mencintai ahlul bait, para auliya, dan para sholihin, bertabaruk kepada mereka, berziarah kubur, mebacakan talqin untuk mayyit, meyakini adanya syafa’at, bertawasul dll . ( Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah: 9, Risalah Sunnah wal Bid’ah: 19) .
Wasiat Syaikh Hasyim Asy’ari tersebut bisa dimaknai dengan :
  1. Agar kaum muslimin khusunya warga nahdliyyin dalam mengamalkan ajaran islam, selalu berpegang kepada madzhab yang Mu’tabaroh yang telah disepakati oleh para ulama
  2. Menjaga aqidah ummat islam agar tidak terpengaruh atau dimasuki faham yang bertentangan dengan ajaran ulama salaf yang sudah turun temurun diamalkan oleh ummat Islam dunia khususnya Indonesia dan Nahdliyyin.

(Dikutip dari Majalah Risalah NU edisi 07)

Hikmah Kurban Idul Adlha

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Jumat, 19 Oktober 2012 0 komentar

Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu yang istimewa, Yakni hari raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurban. 
Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, atau bahkan masih terasa berat untuk mengeluarkan kurban, Sehingga belum pernah sekalipun anda berkurban, ada baiknya anda menyimak hikmah dan keutamaan kurban pada hari-hari tersebut:

1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah mmenjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah]

2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]

4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa “Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim]

5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.” “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162] Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…”

6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34]

7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 - 107] (sumber: http://fimadani.com/7-hikmah-dan-keutamaan-qurban-idul-adha/)

Akidah Ahlussunnah sebagai Jalan tengah

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Kamis, 04 Oktober 2012 0 komentar

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah aqidah pertengahan, moderat. Tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Tidak berlebihan dan juga tidak menggampangkan. Demikian sesuai karakter umat ini sebagai umat yang adil dan pertengahan. Allah Swt berfirman, “Dan demikian Kami jadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia (umat sebelummu) dan Rasulullah menjadi saksi atas kamu.”  (QS. Al-Baqarah: 143)
Kaum Muslimin tidak seperti kaum Nasrani yang menuhankan Isa, dan tidak seperti Yahudi yang menganggap Uzair sebagai anak Allah. Kaum Muslimin pun tidak mengajarkan kerahiban yang anti-dunia seperti Nasrani, dan pula tak seperti Yahudi yang mengaku sebagai anak dan kekasih Allah. Rasulullah Saw bersabda, “Peganglah petunjuk yang moderat (qaashidan), karena sesungguhnya orang yang memberat-beratkan agama, dia akan kalah.” (HR. Ahmad dari Buraidah). Seorang ulama tabi’in, Mutharrif bin Abdillah Asy-Syikhkhir berkata, “Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengahnya.” (HR. Al-Baihaqi)

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sulit dilepaskan dari dua kelompok besar, yakni Asya’irah (termasuk Maturidiyah) dan Salafiyah. Keduanya mempunyai perbedaan dalam menyikapi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Namun, banyak kesamaan dalam beberapa masalah.  Ketika menafsirkan ayat, “Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah menjadi hitam.” (QS. Ali ‘Imran: 106), Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya yaitu pada hari kiamat, di mana wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi putih, dan wajah-wajah ahlul bid’ah dan kelompok-kelompok sesat menjadi hitam.” (Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim)
Namun demikian, sikap moderat bukan berarti harus lunak dalam segala hal dan di setiap waktu. Sebab, Islam mempunyai sikap yang jelas dan tegas dalam hal-hal tertentu, terutama ketika kehormatannya dilecehkan. Demikian beberapa poin kemoderatan Islam dalam masalah aqidah:
Kasus Sahabat Nabi
Di antara konsep ‘jalan tengah’ dalam aqidah Aswaja adalah bersikap moderat kepada para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yakni tidak mengkultuskan mereka, tidak mencela, dan tidak merendahkan. Aswaja menempatkan para sahabat dalam posisi yang mulia, mencintai mereka, meyakini keadilannya, dan tidak turut campur dalam perselisihan yang pernah terjadi di antara mereka.
Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang lebih dulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik; Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 100)
Saat ditanya tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, Umar bin Abdil Aziz berkata, “Itu adalah darah di mana Allah membersihkan tanganku dari turut campur di dalamnya. Karenanya, aku tidak ingin mengotori lisanku dengan membicarakannya.” (Al-Inshaf, Al-Baqillani)
Menjawab pertanyaan senada, Imam Ahmad membaca ayat 134 surat Al-Baqarah, “Itu adalah umat yang telah lalu. Mereka mendapatkan balasan apa yang mereka lakukan, dan kamu pun mendapatkan balasan apa yang kamu lakukan. Dan, kamu tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan.” (Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir)
Ibnu Hajar berkata, “Ahlus Sunnah sepakat atas wajibnya menahan diri dengan tidak mencela seorang pun dari sahabat dikarenakan peperangan yang terjadi di antara mereka, sekalipun diketahui siapa yang benar di antara mereka. Sebab, mereka tidak berperang melainkan dengan ijtihad, di mana Allah Ta’ala memaafkan orang yang salah dalam berijtihad. Bahkan hadits shahih mengatakan bahwa orang yang salah dalam ijtihadnya mendapatkan satu pahala, sementara yang benar mendapatkan dua pahala.” (Fathul Bari)
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah Saw.” (Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah). Ibnu Katsir berkata, “Dan sahabat semuanya adalah adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena Allah telah memuji mereka dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan juga karena Sunnah Nabawiyah menyatakan demikian ketika memuji mereka dalam seluruh akhlak dan perbuatan mereka.” (Al-Ba’its Al-Hatsits)
Lalu, bagaimana hukum orang yang mencela sahabat? Para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan zindiq, kafir, ahlul bid’ah, dan ada juga yang mengatakan dibunuh. Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw… , jika dia mengatakan bahwa mereka berada dalam kesesatan atau kekufuran; dia boleh dibunuh.” (Hukmu Sabbillah Ta’ala wa Ar-Rasul wa Ash-Shahabah/Syaikh Abdul Malik Al-Qasim)
Ibnu Hazm berkata, “Para sahabat semuanya adalah ahlul jannah. Artinya, siapa yang mencela sahabat dan memusuhi mereka, tak lain adalah musuh yang jauh dari rahmat Allah, busuk akhlaqnya, dan zindiq.” (Al-Lawami’, As-Safarini). Abu Zur’ah berkata, “Apabila engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq.” (Tarikh Dimasyq). Al-Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H) berkata, “Para fuqaha sepakat tentang hukum orang yang mencela sahabat, sekiranya dia menganggap sahabat tersebut halal darahnya, maka dia adalah kafir. Tetapi, jika dia tidak menganggap demikian, maka dia adalah fasiq.” (Hiwar Hadi` Ma’a Du’at At-Taqrib Ma’a Asy-Syi’ah, Abu Mush’ab)
Sebagian ulama mendasarkan pendapat mereka pada sabda Rasulullah Saw berikut, “Barangsiapa menyakiti sahabatku, maka dia juga menyakitiku. Dan siapa yang menyakitiku, sungguh dia telah menyakiti Allah.”  HR. Ahmad (16201) dan At-Tirmidzi (3797) dari Abdullah bin Mughaffal.
Tindakan mencela apalagi sampai mengkafirkan sahabat Nabi adalah sikap melampaui batas. Dalam kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad, Imam Al-Ghazali mengatakan: “Hendaknya kita hati-hati dalam mengafirkan orang lain selama masih ada jalan. Sebab, menghalalkan darah dan harta orang yang shalat ke arah kiblat, yang jelas-jelas mengatakan La ilaha illallah Muhammad Rasullullah; adalah salah!”
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha
Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo

Dialog Asik : Ahlussunnah VS Antisunnah

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Rabu, 12 September 2012 0 komentar

A : "Maulid dan tahlilan itu haram, dilarang di dalam agama."
B : “Yang dilarang itu bid’ah, bukan Maulid atau tahlilan, Bung!
A :"Maulid dan tahlilan tidak ada dalilnya."
B :"Makanya jangan cari dalil sendiri, nggak bakal ketemu. Tanya dong sama guru, dan baca kitab ulama, pasti ketemu   dalilnya."
A :"Maulid dan tahlilan tidak diperintah di dalam agama."
B :"Maulid dan tahlilan tidak dilarang di dalam agama."
A :"Tidak boleh memuji Nabi saw. secara berlebihan."
B :"Hebat betul Anda, sebab Anda tahu batasnya dan tahu letak berlebihannya. Padahal, ALLOH saja tidak pernah membatasi pujian-Nya kepada Nabi saw. dan tidak pernah melarang pujian yang berlebihan kepada Beliau saw."
A :"Maulid dan tahlilan adalah sia-sia, tidak ada pahalanya."
B :"Sejak kapan Anda berubah sikap seperti Tuhan, menentukan suatu amalan berpahala atau tidak, ALLOH saja tidak pernah bilang bahwa Maulid dan tahlilan itu sia-sia."
A :"Kita dilarang mengkultuskan Nabi saw. sampai-sampai menganggapnya seperti Tuhan."
B :"Orang Islam paling bodoh pun tahu, bahwa Nabi Muhammad saw. itu Nabi dan Rasul, bukan Tuhan."
A :"Ziarah ke makam wali itu haram, khawatir bisa membuat orang jadi musyrik."
B :"Makanya, jadi orang jangan khawatiran, hidup jadi susah, tahu."
A :"Mengirim hadiah pahala kepada orang meninggal itu percuma, tidak akan sampai."
B :"Kenapa tidak! Kalau Anda tidak percaya, silakan Anda mati duluan, nanti saya kirimkan pahala Al-Fatihah kepada Anda."
A :"Maulid itu amalan mubazir. Daripada buat Maulid, lebih baik biayanya buat menyantuni anak yatim."
B :"Cuma orang pelit yang bilang bahwa memberi makan atau berinfak untuk pengajian itu mubazir. Sudah tidak menyumbang, mencela pula."
A :"Maulid dan tahlilan itu bid’ah, tidak ada di zaman Nabi saw."
B :"Terus terang, Muka Anda juga bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi saw."
A :"Semua bid’ah (hal baru yang diada-adakan) itu sesat, tidak ada bid’ah yang baik/hasanah."
B :"Saya ucapkan selamat menjadi orang sesat. Sebab Nabi saw. tidak pernah memakai resleting, kemeja, motor, atau mobil seperti Anda. Semua itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat."
A :"Kasihan, masyarakat banyak yang tersesat. Mereka melakukan amalan bid’ah yang berbau syirik."
B :"Sudah lah, kalau Anda masih bodoh, belajarlah dulu, sampai anda bisa melihat jelas kebaikan di dalam amalan mereka."
A :"Saya menyesal dilahirkan oleh orang tua yang banyak melakukan bid’ah."
B :"Orang tua Anda juga pasti sangat menyesal karena telah melahirkan anak durhaka yang sok pintar seperti Anda."
A :"Para penceramah di acara Maulid, bisanya hanya mencaci maki dan memecah belah umat."
B :"Sebetulnya, para penceramah itu hanya mencaci maki orang seperti Anda yang kerjanya menebar keresahan dan benih perpecahan di kalangan umat."
A :"Qunut Shubuh itu bid’ah, tidak ada dalilnya, haram hukumnya."
B :"Kasihan, rokok apa yang Anda hisap? Setahu saya, di dalam iklan, merokok Star Mild hanya membuat orang terobsesi menjadi sutradara atau orator. Sedangkan Anda sudah terobsesi menjadi ulama besar yang mengalahkan Imam Syafi’i yang mengamalkan qunut shubuh. Lebih Berasa, Berasa Lebih pinter gitu loh!


ISLAM SUNNI DI INDONESIA

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Minggu, 09 September 2012 0 komentar



Islam merupakan agama multi dimensi dengan beragam pengamalan ajaran, interpretasi hukum, dan aliran-aliran yang turut melegitimasi Islam dalam poros agama yang ramatan lil ‘alamin.
Islam dalam sejarah kosmologinya hingga di masa kontemporer, dipelajari dengan pendekatan faham keagamaan yang berimplikasi pada munculnya firqah (kelompok-kelompok keagamaan) dan didalamnya juga terdapat sekte-sekte yang jumlahnya tidak sedikit.
Sunni atau sering disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau biasa disingkat Aswaja, merupakan salah satu golongan yang berkembang dengan paham pemikiran keagamaan (teologi) lahir menjadi jalan tengah terhadap rentetan konflik khilafah (pemerintahan dengan penguasa tunggal seorang khalifah) yang berkepanjangan sehingga mengerucut menjadi konflik ideologi dan akidah sebagai aspek fundamen terhadap legitimasi masing-masing pihak yang bertikai.
Berbagai firqah muncul pada masa Khulafa’ur Rasyidin dengan ideologi dan pemikiran yang berbeda. Pertama, munculnya kelompok yang mengkultuskan sayyidina ‘Ali, yang kemudian menjadi Syi’ah, inilah firqah pertama dalam sejarah perpecahan teologi Islam. Dan kedua kelompok khawarij yang merupakan gabungan “barisan sakit hati” dari pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah yang tidak menerima gencatan senjata atas keduanya, mereka menganggap bahwa kedua pihak telah sama-sama melanggar hukum Tuhan dengan menerima damai terhadap kesalahan musuh masing-masing. Dan pelanggaran terhadap hukum Tuhan mereka fatwakan sebagai dosa besar yang menyebabkan pada kekafiran.karena menurut mereka, semua dosa adalah besar, tidak ada yang namanya dosa kecil, dan pelakunya lepas dari ke-islam-annya walaupun sebelumnya telah bersyahadat. Sementara itu, Muncul pula kelompok yang berbeda pola pandang dengan khawarij, mereka menamakan diri Murji’ah. Mereka menyatakan, bahwa orang yang dalam hatinya telah mempercayai wujud Allah maka orang itu sudah mu’min sekalipun ia menyembah berhala dan tidak pernah beribadah maka orang itu sudah pasti selamat di akhirat karena sudah punya iman, aliran ini merupakan lawan (kebalikan) dari Khawarij.
Selain golongan yang disebut diatas, lahir pula golongan Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai daya apapun untuk melakukan kehendak, semua yang terjadi merupakan kehendak Allah semata, termasuk ketika seorang muslim melakukan dosa, mereka berpendapat bahwa dosa tersebut atas kehendak dan sebab pertolongan Allah, bukan kehendak orang yang melakukannya. Kemudian muncul reaksi dari kelompok yang berseberangan faham dengan kelompok ini, yakni kelompok yang menamakan diri Qadariyah, yaitu kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak dan kuasa penuh atas dirinya tanpa membutuhkan kuasa Allah, mempunyai daya untuk melakukan apa yang diinginkannya serta menanggung konsekuensi (akibat) dari seluruh perbuatannya, karena apa yang dilakukan manusia, semua atas kehendak dan kemampuan manusia itu sendiri. Akibatnya, faham ini mendorong lahirnya golongan Mu’tazilah yang berorientasi pada rasionalisasi pemahaman keagamaan. Mereka menerima ajaran agama setelah disesuaikan dengan rasio mereka. Adapun Mujassimah/ Musyabbihah, aliran ini lahir jauh setelah Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul, karena kelompok ini hayalah sekelompok kecil pengikut “Anti Ta’wil” terhadap teks Al-Qur’an, yang salah satu pengikut aliran ini bernama Ahmad Taqiyuddin bin Abu Abbas bin bin Syihabuddin bin Abdul Mahasin bin Abdul Halim bin Syeikh Majdudin Abil Barakat bin Abdussalam bin Abi Muhammad Abdillah bin Abi Qasim Al-Khadr bin Muhammad Al-Khadr bin Ali bin Abdillah atau yang sering kita kenal dengan Ibnu Taymiyah yang berabad-abad kemudian menjadi orang yang berpengaruh dalam perjalanan spiritual pendiri sekte Wahabi, yakni Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi.
Sebetulnya, masih ada firqah-firqah lain yang tidak begitu populer yang jumlahnya tidak sedikit yang muncul sesudah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mapan sebagai kelompok mayoritas umat Islam di seluruh dunia . Namun yang kami sebutkan diatas kiranya cukup untuk menggambarkan betapa carut-marutnya pemikiran “Teologi Islam” dipersimpangan pemahaman, dan sekaligus membuka mata bahwa aliran Wahabiyah merupakan "aliran baru" dalam pemikiran Islam yang muncul bersama pendirinya.

Di tengah-tengah meruncingnya pertentangan ideologi dan politik saat itu yang kemudian menjadi pertentangan akidah, muncul lah nama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang mengusung ajaran Nabi sebagai dasar ideologi. Aliran ini menghadirkan lagi kemurnian ajaran Islam dan membersihkannya dari kontaminasi politik dan lumpur ideologi yang berasal dari pertentangan kepentingan kelompok yang sudah mulai memecah-mecah Islam dan kaum muslimin hingga ke ranah akidah.
Kelompok ini mendapat sambutan hangat dan cepat berkembang di tengah-tengah kegersangan akidah umat, adalah Abu Hasan bin ‘Ali bin Isma’il Al-Asy’ari atau lebih dikenal dengan Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324,M.) dan Abu Mansur Al-Maturidi sebagai orang yang mengkodifikasi anasir ajaran Nabi yang tidak sempat terfikirkan oleh pemuka-pemuka golongan pada saat itu. Saya pribadi sangat tidak setuju bila dua ulama ini disebut sebagai konseptor teologi aliran ini, karena “konseptor” Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya adalah Rasulullah SAW. Dan ini berarti Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan Islam yang murni yang sesuai dengan yang diajarkan Kanjeng Nabi, karena faham ini ada sejak masa beliau SAW masih hidup. Jadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah Counter Argument, atau Reaction dari munculnya firqah-firqah saat itu, namun inilah Islam yang sesungguhnya. Hanya saja dua ulama inilah yang menyuguhkannya (berijtihad) ditengah kehausan umat akan akidah yang benar.


Di Indonesia
, Islam Sunni atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah lebih dikenal sebagai aliran yang konservatif atau tradisionalis yang tetap mempertahankan konsep salafiyah dengan mengkolaborasikan adat dan kearifan lokal, nilai-nilai luhur budaya dan tradisi di masyarakat.
Dalam perjalanannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Indonesia telah melebur menjadi Islam yang bercorak Nusantara yang menjadi ciri khas dan pembeda dengan Islam di negara-negara mayoritas muslim seperti Mesir, Sudan, Syiria, Yaman dan lain-lain.
Islam Sunni atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau yang biasa kita singkat Aswaja, mengalami pelembagaan sejak kehadiran Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari bersama koleganya, KH. Wahab Chasbullah berhasil mempelopori berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi pionir dan benteng dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan faham dan i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah di bumi Indonesia.







Buku-buku Aswaja di Perpustakaan Remaja Al-Hasan

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Sabtu, 08 September 2012 0 komentar




BERIKUT DAFTAR BUKU YANG ADA DALAM FOTO DIATAS, JUMLAH KESELURUHAN KOLEKSI BUKU BARU SEKITAR 300 AN EKS. TIDAK KAMI MUAT SEMUANYA, YANG INGIN TAU BIAR DATANG SENDIRI KE PERPUSTAKAAN...........



1. I’TIQAD AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Mengupas tentang Akidah Aswaja dan rincian firqah-firqah beserta akidahnya yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
2. KAMUS SYIRIK
Berisi tentang tuduhan kalangan salafy/wahabi terhadap amaliyah Ahlus Sunnah disertai jawaban dan hujjah dari ulama Ahlus Sunnah.
3. FIQH TRADISIONALIS
Menyuguhkan hujjah atas praktek amaliyah dan tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat.
4. TANYA JAWAB AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Merupakan terjemahan kitab karya Al-‘Alim Al-Habib Zain bin Smith, ulama Madinah. Berisi dalil-dalil atas amaliyah yang sering dituduh Bid’ah dan Syirik oleh Salafy/Wahabi.
5. KEBOHONGAN BUKU “MANTAN KIAI NU MENGGUGAT”
Berisi bantahan terhadap buku yang meresahkan masyarakat dengan membawa label “mantan kiai”.
6. NU SEJAK LAHIR
Berisi kisah, pengalaman dan perjalanan pemikiran salah seorang tokoh kharismatik NU yang kini menjadi ketua umum PBNU.
7. NU VIS A VIS NEGARA
Menjelaskan pola hubungan yang ideal antara NU dan Negara.
8. TERBONGKAR, LUMBUNG DINAR JARINGAN ISLAM RADIKAL DAN PERTIKAIAN FAKSI-FAKSI WAHABI.
Mengupas tuntas jaringan terselubung wahabi di Saudi Arabia dengan tokoh Salafy di Indonesia, Juga menyuguhkan aksi “saling tohok” antara salafy dengan salafy di Indonesia.
9. MENYINGKAP WAHABIYAH
Mengulas sejarah berdarah-darah kelahiran Salafy/Wahabi dan perjalanan hitam penyebarannya.
10. MENGINTIP GERAKAN RADIKAL ISLAM DAN GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL MERONTOKKAN PANCASILA,
Berisi kumpulan artikel yang bertebaran di dunia maya seputar sepak terjang Salafy/Wahabi, dan gerakan-gerakan tersembunyi lainnya yang sedang menggoyang NKRI, Juga menyajikan sejarah Despotisme sistem pemerintahan Khilafah pasca Khulafa’ur Rasyidin.
11. KHITTHAH NAHDLIYYAH
Berisi poin-poin pokok tentang Khitthah NU, berikut tujuan dan penjabarannya.
12. HUJJAH NU
Berisi hujjah atas dasar amaliyah yang biasa berlaku dikalangan NU.
13. KUMPULAN MAKALAH DIKLAT ASWAJA
Berisi 10 makalah dari seminar dan diklat Aswaja di Ponpes Al-Mubarok, Medono Pekalongan.
14. MENJADI NU MENJADI INDONESIA
Berisi prinsip-prinsip NU dalam pola hubungannya dengan negara.
15. ASWAJA AN-NAHDLIYYAH
Berisi pokok-pokok landasan ajaran Ahlus Sunnah ala NU
16. ISLAM BETWEEN AND PEACE
Mengetengahkan prinsip dasar hubungan antara agama dan bangsa yang pluralistic.
17. MEMBEDAH BID’AH DAN TRADISI
Membahas amaliyah yang dituding bid’ah dan syirik oleh kalangan salafy/wahabi disertai jawaban dengan hujjah dari tokoh yang dikagumi oleh kalangan salafy/wahabi itu sendiri.
18. MENGENAL NAHDLATUL ULAMA
Berisi pokok-pokok akidah, landasan ideologi, amaliyah dan tradisi NU
19. RESOLUSI JIHAD NU
Mengenang sisi heroik dan patriotisme NU dalam membela dan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
20. SECERCAH TINTA
Berisi kumpulan tausyiyah dari Maulana Al-Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan.
21. NEGARA PANCASILA
Mengulas perjalanan pancasila dari zaman ke zaman melewati beberapa Orde, situasi politik dan sosial masyarakat serta tantangan bagi tegaknya eksistensi pancasila.
22. BAHAYA FAHAM SYI’AH KHUMAINI
Berisi tentang fakta sejarah kelam dan penyimpangan “Dinasti Syi’ah” di Republik Islam Iran.
23. KRITIK ATAS PEMBID’AHAN SHOLAT TARAWIKH 20 RAKA’AT.
Jawaban dan hujjah untuk kalangan Salafy/Wahabi mengenai sholat tarawikh dan hal yang mengenainya.
24. BEROPOSISI MENURUT ISLAM
Mengulas etika dan prinsip-prinsip dalam beroposisi menurut ajaran Islam.
25. KEUTAMAAN UMAT MUHAMMAD
Merupakan terjemahan kitab karangan Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani mengenai keutamaan dan kemuliaan umat Rasulullah SAW.
26. MENGHIDUPKAN KEMBALI RUH PEMIKIRAN KH. AHMAD SIDDIQ
Mengetengahkan gagasan dan hasil pemikiran salah seorang Kiai kharismatis Nahdlatul Ulama tentang NU, agama, Bangsa dan Negara
27. PETUAH KIAI SEPUH
Berisi nasihat-nasihat dari beberapa kiai kharismatis NU.

SELAIN YANG DISEBUT DIATAS, KOLEKSI BUKU PERPUSTAKAAN REMAJA AL-HASAN JUGA TERDIRI DARI BUKU-BUKU PENGETAHUAN UMUM, DIANTARANYA BUKU MOTIVASI DARI ESQ, ELEKTRONIK, KULINER, NOVEL ISLAMI, TERJEMAHAN KITAB KLASIK, DAN BUKU PANDUAN KOMPUTER DAN INTERNET. JUGA TERSEDIA MAJALAH (BEKAS) AL-KISAH, CAHAYA SUFI, AULA, NATIONAL GEOGRAPHY DLL.



NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN PANCASILA

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Kamis, 06 September 2012 0 komentar



NU dan Pancasila
Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Oktober, kita semua pasti ingat tiap tanggal 1 dibulan tersebut sejak zaman Orde Baru sampai sekarang diperingati sebagai hari kesaktian pancasila. Hal ini terjadi karena saat itu bertepatan dengan satu peristiwa pemberontakan yang gagal oleh partai komunis Indonesia (PKI) pada tangga 30 September 1965 dinihari. Tujuan pemberontakan itu jelas dalam rangka untuk menggantikan pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi komunisme.
Sejak saat itulah pancasila menjadi ideologi yang wajib diketahui, dihafalkan, dan dilaksanakan tanpa reserve oleh seluruh warga negara Indonesia, sampai sertifikat atau piagam penataran P4 dijadikan seseorang untuk memilikinya walaupun pancasila sebenarnya sudah ada dan sudah menjadi dasar negara dan ideologi bangsa sejak proklamasi dibacakan.

SEJAK SAAT ITULAH , PANCASILA MENJADI IDEOLOGI YANG WAJIB DIKETAHUI , DIHAFALKAN DAN DILAKSANAKAN TANPA RESERVE OLEH SELURUH WARGA NEGARA INDONESIA.

Puncak kebijakan rezim orde baru dalam mensikapi pancasila kaitannya dengan ketatanegaraan adalah diharuskannya pancasila sebagai asas dan bahkan menjadi satu-satunya asas bagi suatu perkumpulan yang ingin hidup dibumi Indonesia. Seluruh organisasi yang sudah ada harus menjadikan pancasila sebagai asas tunggal, kalau tidak, maka organisasi tersebut bisa dibubarkan. Termasuk organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah.
Adanya kebijakan pemerintah Orde Baru tersebut, menimbulkan gejolak cukup tinggi dimasyarakat, terutama organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, malah ada beberapa ormas keagamaan yang secara terang-terangan menolak kebijakan pemerintah tersebut, karena kebijakan itu dianggap sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip organisasi tersebut.

Dalam kaitan asas tungal organisasi ini, adalah menarik apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar di Indonesia. Pada musyawarah nasional NU di Situbondo pada tahun 1983,NU telah menetapkan hubungan pancasila dengan Islam, sebagai jalan keluar dalam mensikapi kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pancasila sebagai asas tunggal setiap organisasi. Keputusan itu berbunyi :
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat dijadikan agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama.
2. Sila “ Ketuhanan yang Maha Esa “ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang undang Dasar (UUD) 1945, menjiwai sila yang lain yang mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Peneriamaan dan pengamalan pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap diatas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.


NU BERKEWAJIBAN MENGAMANKAN PENGERTIAN YANG BENAR TENTANG PANCASILA DAN PENGAMALANYA YANG MURNI DAN KONSEKUEN OLEH SEMUA PIHAK.
KEPUTUSAN INI MERUPAKAN SATU SIKAP YANG SANGAT PRINSIPIL,BERKAITAN DENGAN AKIDAH DAN SEKALIGUS DAPAT DIJADIKAN DASAR DALAM MENSIKAPI HUBUNGAN ANTAR AGAMA.DENGAN DENGAN TEGAS DISEBUTKAN BAHWA PANCA SILA BUKAN AGAMA DAN TIDAK DAPAT MENGGANTIKAN KEDUDUKAN AGAMA SEHINGGA NAHDLATUL ULAMA DALAM MENSIKAPI PANCSILA SEBAGAI ASAS TUNGGAL ORGANISASI,TIDAK MENDUDUKAN SEJAJAR DENGAN ISLAM SEBAGAI AKIDAH.


Keputusan ini merupakan satu sikap yang sangat prinsipil, berkaitan dengan akidah dan sekaligus dapat dijadikan dasar dalam mensikapi dalam hubungan agama dengan negara, terutama dinegara kita yang bukan negara agama. dengan tegas bahwa pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama, sehingga nahdlatul ulama dalam mensikapi pancasila sebagai asas tunggal organisasi , tidak mendudukan sejajar dengan Islam sebagai akidah. Pancasila disikapi sebagai pedoman dalam bernegera, sedangkan islam disikapi sebagai pedoman dalam berakidah, selama tidak bertentangan dengan islam itu sendiri. Lebih-lebih dalam point kedua keputusan tersebut, jelas-jelas menyebutkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencermikan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam, Hal ini memang sesuai dengan sejarah dirumuskanya Piagam Jakarta oleh para pendiri negara ini , yang didalamnya menyebutkan bahwa pada sila pertama pancasila , terdapat tujuh kata kata yang berbunyi ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Kemudian sepakat diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tercantum pada pembukaan undang-undang dasar 1945.


Sering munculnya masalah yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Karena ada kepentingan-kepentingan sesaat yang menggunakan Pancasila sebagai alat kepentingan tersebut. Hal ini benar seperti apa yang dikatakan oleh K.H Mustofa Bisri bahwa; ”Seandainya pancasila sejak awal - Saat masih banyak pemimpin Indonesia yang negarawan dan ghirah kebangsaan masih tebal-tebalnya - terus didiskusikan penjabaran sila-silanya dan di masyarakatkan secara apa adanya ; Seandainya tidak sebaliknya justru pancasila hanya diseret-seret kepentingan politik sesaat,seandainya rezim Soeharto dizaman Orde Baru tidak dholim dalam menggunakan pancasila sebagai salah satu alat mempertahankan kekuasaannya,saya kira pancasila akan baik-baik saja, dan tetap menjadi andalan dalam menjaga keutuhan NKRI. Tidak ada yang mempersoalkan apakah pancasila masih relevan atau tidak? Tidak ada yang mempersoalkan pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.


“DALAM HAL HUBUNGAN INI KITA BANGSA INDONESIA KHUSUSNYA UMAT ISLAM, PATUT BERSYUKUR KEPADA ALLAH SWT, BAHWA PARA PENDAHULU KITA , PARA PENDIRI REPUBLIK TELAH MERUMUSKAN PANCASILA UNTUK DIJADIKAN IDEOLOGI NEGARA.
MARILAH KITA PERBANDINGKAN LIMA SILA DARI PANCASILA DENGAN PRINSIP-PRINSIP DAN TATA NILAI YANG TELAH DIAMANATKAN DALAM ALQUR’AN.
KITA AKAN MELIHAT ADANYA PERSAMAAN, TERMASUK JUGA SEMANGATNYA.
DAN HENDAKLAH KITA UMAT ISLAM INDONESIA MENERIMA NEGARA REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA INI SEBAGAI TUJUAN FINAL DARI ASPIRASI POLITIK KITA, DAN BUKAN SEKEDAR SASARAN SEMENTARA ATAU BATU LONCATAN UNTUK MENUJU KEARAH SASARAN LAIN YANG DISEMBUNYIKAN (HIDDEN AGENDA).
DALAM KAITAN INI DAPAT DIKEMUKAKAN, BAIK DALAM SISTEM POLITIK
MAUPUN SISTEM HUKUM, TERDAPAT BANYAK KESAMAAN ANTARA NKRI DAN NEGARA-NEGARA BERPENDUDUK MUSLIM LAINNYA.
SATU-SATUNYA PEMBEDA KONSTITUSI NKRI DENGAN NEGARA BERPENDUDUK MUSLIM LAINNYA ADALAH
MEREKA MENJADIKAN HANYA ISLAM SEBAGAI AGAMA YANG RESMI DIANUT OLEH NEGARA.”

Adanya keputusan Munas Nahdlatul Ulama tersebut, paling tidak untuk warga Nahdliyyin –syukur syukur umat Islam Indonesia– sudah mempunyai pedoman dalam mensikapi hubungan antara pancasila dan agama.
Sebagai penutup saya nukilkan pernyataan Almarhum Al-maghfurllah KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Aam Nahdlatul Ulama, ketika ada perdebatan sengit dalam mensikapi pancasila antara kaum muda dengan golongan tua dikalangan Nahdlatul Ulama, beliau mengutarakan dengan kalimat yang sangat sareh “ wong barang sudah sekian lama dimakan kok baru dibahas halal haramnya”.




Mengenang Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M


Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali.
Pimpinan (KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi -- dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang - berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.
Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: "Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?" Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.K. Kun Solahuddin yang diutus K. As'ad Samsul Arifin untuk 'mengamati' rapat, kemudian melapor ke K. As'ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As'ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As'ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.Yang masih menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku 'saksi sejarah', bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya -termasuk saya-- merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah "membaca" masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang -padahal-- pada saat berbicara, Gus Dur tidur.
Wallahu a'lam.




PERSOALAN PESANTREN

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Selasa, 04 September 2012 0 komentar


Oleh : Abdul Ghofur Maimun


“Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini pada tiap permulaan seratus tahun, orang yang memperbaharui agamanya”. Demikian nabi Muhammad SAW. Bersabda. Hadits ini memberi pengertian bahwa pada dimensi agama Islam yang harus berubah. Menghentikan dinamika Islam berarti adalah sebuah kematian.
NU menyadari betul Sunnatul hayyah ini, karena itu selain menetapkan manhaj menghidupkan tradisi, NU juga mengembangkan modernisasi. Dalam bahasa yang sangat populer, selain almuhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih , NU juga memiliki prinsip al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dua prinsip yang dewasa ini sering disebut dengan al-ashlah wa al-mu’asharah. Berbagai problem Islam dewasa ini sering dilatari oleh ketidak-berhasilan dalam mengharmonisasikan dua prinsip ini. Apa yang sering diistilahkan dengan fundamentalisme banyak dilatarbelakangi oleh ketidak-mampuan dalam menyerap prinsip modernitas yang justru mereka anggap sebagai bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keagamaan. Sebaliknya, liberalisme banyak dilatarbelakangi oleh ketidak-mampuan menjaga tradisi ditengah derasnya arus modernitas.

Dewasa ini, Pesantren dihadapkan pada tantangan yang sangat berat kaitannya dengan dua prinsip diatas. Problem ini sangat nyata bermula dari terpisahkannya sistem pesantren dari pusat pemerintahan. Sistem pesantren sejatinya tidak jauh berbeda dari sistem pendidikan Islam secara umum. Kurikulum yang disuguhkan pun tidak jauh berbeda dari kurikulum pendidikan Islam secara umum. Tak heran, dengan sistem yang sama dahulu lahir seorang hakim Negara, ekonom dan ahli politik handal. Akan tetapi memasuki era modern, dengan problem keumatan yang semakin rumit, pendidikan pesantren menghadapi sistem dunia yang akan acap senggang dari problem-problem yang dikaji dalam kurikulum pesantren.

Gap ini terjadi di berbagai lini, dari mulai bahasa, ekonomi, politik hingga teologi. Bahasa arab modern yang menjadi alat komunikasi media televisi, Koran dan perbincangan sehari-hari, tak bisa hanya dipelajari melalui buku-buku gramatika klasik. Ekonomi modern dengan segala partikel-partikelnya tak bisa dianalisa hanya dengan membaca bab mu’amalah dalam fikih pesantren. Sistem politik modern juga memiliki kesenggangan dari sistem politik yang digambarkan dalam al-ahkam as-sulthaniyah karangan Al Mawardi,
Begitu pula sejumlah ilmu-ilmu yang lain. Akibatnya sistem pendidikan pesantren banyak disoroti sebagai sebuah sistem yang terpinggirkan dari problematika modernitas. Hal yang justru bertentangan dari risalah Islam sebagaimana diterapkan oleh Nabi besar Muhammad dan para salafu Al-Shalih.

Menengok Mesir, Al-Azhar (sistem pesantren Mesir) pada mulanya juga mengalami problem yang sama. Thoha Husain saat menjabat sebagai menteri kebudayaan juga menyuarakan perlunya perombakan, atau mungkin tepatnya liberalisasi pendidikan Al-Azhar. Menurutnya, tak mungkin dalam satu negara terdapat dua sistem pendidikan yang saling bertentangan, yang satu pendidikan pemerintah, dan yang satu lagi pendidikan Al-Azhar,karena pada akhirnya akan melahirkan sarjana-sarjana yang terbelah orientasi kehidupannya. Menurutnya, Al-Azhar perlu melakukan re-orientasi agar menyentuh problem masyarakat modern. Saat itu, Al-Azhar menolak dengan keras ajakan (paksaan) Thoha Husain, akan tetapi pada akhirnya tidak bisa mengelak sama sekali . Gempuran modernitas diberbagai lini akhirnya mendorong Al-Azhar mengeluarkan rancangan undang-undang tahun 1930 yang dikemudian hari melahirkan apa yang sekarang dikenal dengan Universitas Al-Azhar. Apakah pesantren kita bisa mengarah kesana? Saya yakin bisa, walaupun tdak sama persis titian sejarah dan hasil finalnya.

Pesantren Masuk Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang RI tahun 2003 memasukkan pesantren kedalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30, ayat 3 menyatakan: “Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non-formal dan informal.” Dan ayat 4 menyatakan: “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.” Undang-undang ini laksana tombak yang memiliki dua ujung mata, bisa positif dan bisa juga negatif tergantung peraturan-peraturan yang menjabarkannya.
Demikian ini karena Pendidikan nasional adalah sebuah sistem yang sudah tentu memiliki aturannya. Jika tidak ditanggapi dengan hati-hati, maka undang-undang yang dimaksudkan baik akan berubah menjadi bumerang karena akan menggerus identitas pesantren kedalam sistem pendidikan nasional.

Masuknya pendidikan pesantren kedalam sistem pendidikan nasional memang merupakan sebuah keharusan, agar pesantren tidak terpisahkan dari problem-problem nasional, Dan agar peran pesantren semakin nyata dalam kehidupan berbangsa.
Akan tetapi, pesantren adalah lembaga pendidikan dengan beragam ke-khas-annya jika melebur menjadi satu sama artinya menghilangkan ke-khas-an pesantren, Ini yang tampaknya terjadi dengan dikeluarkannya Peraturan pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang standar nasioanal pendidikan. PP ini memuat 8 standar;
1. Standar isi Pendidikan,
2. Standar Proses,
3. Standar kompetensi kelulusan,
4. Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana
6. Standar pengelolaan,
7. Standar pembiayaan,
8. Standar penilaian pendidikan.

Delapan standar ini jika diterapkan apa adanya tanpa koreksi dari pihak pesantren dan pihak-pihak lain terkait Pada waktunya akan menggerus eksistensi pesantren, Hal yang dulu di Mesir diusulkan oleh Thoha Hussain dan ditolak dengan tegas oleh Al-Azhar. Pada kenyataanya, PP No. 19 ini telah ditindak-lanjuti oleh kementrian agama, Dan menelurkan PP. 55 Tahun 2007 yang kontraversial itu, sehingga ditangguhkan atau dicabut. Pada ujung Mubes ini, kita insya Allah akan menggelar FGD untuk mencari format yang baik mengenai sistem pendidikan pesantren ditengah sistem pendidikan nasional.




* Makalah ini disampaikan saat kegiatan program diklat keaswajaan di Ponpes Al-Mubarok Medono Pekalongan, Ramadhan 1433.
* Gambar ilustrasi Ponpes Darul Muta'allimin Keboijo Petarukan



Mengenal Pendiri NU : KH. M. Hasyim Asy'ari.

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Senin, 03 September 2012 0 komentar

Judul asli : Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari
(Pendiri Nahdlatul Ulama)
*Oleh : KH. Zakaria Anshor

Kelahiran dan Isyarat beliau
* KH. M. Hasyim Asy'ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 14 Februari 1871 M. bertepatan dengan 24 Dzulqo’dah 1287 H di Pondok Gedang, sebuah pondok yang masyhur kala itu, di desa Tambak rejo- 2 KM. dari kota Jombang.
* Beliau berada dalam kandungan sang ibu selama 14 bulan.
Masyarakat jawa kala itu memiliki keyakinan bahwa masa kandungan yang panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi dimasa mendatang.
* Suatu hari, ketika sedang menampi beras, Nyai Halimah, Sang ibu mendapati berasnya berubah wujud menjadi emas. Lantas beliau bergegas melaksanakan shalat Dhuha. Setelah shalat beliau berdoa: “Ya Allah, Saya tidak meminta harta, Saya hanya meminta kepadamu agar anak keturunanku menjadi orang-orang yang baik dan berguna bagi agama-Mu”.
* Saat kehamilannya sang ibu bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit tepat mengenai perutnyayang sedang mengandung jabang bayi Hadhratus Syaikh.

Orang tua beliau
* Ayah Hadhratus Syaikh bernama Kiai Muhammad Asy’ari, seorang ulama tangguh berasal dari Gubug, Purwodadi, Jawa tengah. Beliau adalah keturunan kelima Abdurrahman alias Joko Tingkir.Menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren diantaranya Demak, Kudus, Jombang. Kemudian, di desa keras, beliau mendirikan masjid dan pondok pesantren sebagai pusat peribadatan dan pembelajaran bagi masyarakat sekitar. Dan disana pulalah beliau dimakamkan.
* Ibunya, Nyai Halimah , adalah putri pasangan Kiai Utsman dan Nyai Layinah. Kiai 'Utsman adalah pendiri pondok pesantren yang terletak di sebelah selatan pondok Gedang. Karena beliau ahli thoriqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thoriqatnya. Ayah Nyai Layinah bernama Kiai Abdus Salam yang dikenal dengan gelar Kiai Sihah.

Pendidikan dan guru-guru beliau.
* ketika usianya mencapai 8 tahun, Hasyim kecil menerima didikan dari sang Ayah hingga usianya 13 tahun. Sebelumnya ia telah dididik oleh kakeknya di pesantren Gedang.
* Ketika usianya telah genap 15 tahun, dengan disertai doa dan restu orang tuanya, Hasyim mulai mengembara Thalabul ilmi di beberapa pondok pesantren di tanah Jawa. Diantara pesantren yang pernah beliau singgahi adalah ;
1. Pondok Pesantren Wonokoyo di Pasuruan,
2. Pondok Pesantren Langitan di Tuban,
3. Pondok Pesantren Trenggilis di Surabaya,
4. Pondok Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo, dan
5. Pondok Pesantren Syaikhona Kholil di Demangan-Bangkalan Madura.
* Pada tahun 1892 M. beliau pergi ke tanah haram untuk memperdalam ilmu disana. Diantara guru-guru beliau di Makkah ialah;
1. Syaikh Muhammad Mahfudz At-Tirmasi,
2. Syaikh Syuaib ibn Abdurrahman,
3. Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi,
4. Syaikh Ahmad Amin At-Ththar,
5. Syaikh Said Yamani,
6. Syaikh Bafaddlal,
7. Sayyid Abbas Al-Maliki,
8. Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Daghistani,
9. Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Atthas,
10. Sayyid Alwi bin As-Segaf,
11. Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi,
12. Sayyid Husain bin Muhammad Al-Habsyi, yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Hasyim muda juga sempat pula berguru pada;
13. Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Aljawi,dan
14. Syaik Abdus Syakur, ulama Makkah asal Surabaya.
* Dari kesekian banyak guru-guru beliau yang paling berpengaruh terhadap pembentukan keilmuan beliau adalah Syaikh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-Tirmasi, sehingga menjadikan beliau seorang ulama ahli hadits yang pertama di tanah Jawa.


SANAD-SANAD KEILMUAN.
* Sanad ilmu hadits beliau :
1. Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Al-Jumbani,
2. Syaikh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-Tirmasi,
3. Syaikh Abi Bakr bin Muhammad Syatta Al-Makki,
4. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
5. Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi,
6. Syaikh Muhammad bin ‘Ali Asy-Syanwani,
7. Syaikh ‘Isa bin Ahmad Al-Barawi,
8. Syaikh Ahmad Ad-Dafry,
9. Syaikh Salim bin Abdullah Al-Bishri,
10. Ayahnya Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bishri,
11. Syaikh Muhammad bin A’lauddin Al-Babili
12. Syaikh Salim bin Ahmad As-Sanhuri,
13. Syaikh An-Najm Muhammad bin Ahmad Al-Ghaithi,
14. Syaikh Al-Islam Zakaria bin Muhammad Al-Anshary,
15. Syaikh Al-Hafidh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Atsqalany,
16. Syaikh Ibrahim bin Ahmad At-Tanukhi,
17. Syaikh Abi Al-Abbas Ahmad bin Abi Thalib Al-Hijar,
18. Syaikh Al-Husain bin Al-Mubarak Az-Zabidi Al-Hanbaly,
19. Syaikh Abi Al-Waqt Abdul Awwal bin ‘Isa As-Sajasy
20. Syaikh Abdr Rahman bin Mudzaffr Ad-Dawudy,
21. Syaikh Abdullah bin Ahmad As-Sarkhasy,
22. Syaikh Abi Abdullah bin Muhammad bin Yusuf Al-Faribary,
23. Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin ‘Ismail Al-Bukhary bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardzabah (Imam Al-Bukhary)

* Sanad ilmu Fiqh beliau:
1. Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Al-Jumbani,
2. Syaikh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-Tirmasi,
3. Syaikh Abi Bakr bin Muhammad Syatta Al-Makki,
4. Sayyid Ahmad bin zaini Dahlan,
5. Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi,
6. Syaikh Muhammad bin ‘Ali Asy-Syanwani,
7. Syaikh ‘Isa bin Ahmad Al-Barawi,
8. Syaikh Ahmad Ad-Dafry,
9. Syaikh Salim bin Abdullah Al-Bishri,
10. Ayahnya Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bishri,
11. Syaikh mMansur Ath-Thukhi,
12. Syaikh Sulthan bin Ahmad Al-Muzahi,
13. Syaikh Nuruddin ‘Ali Az-Ziyadi,
14. Al-Imam Ibn Hajr Al-Haitami,
15. Syaikh Al-Islam Zakaria bin Muhammad Al-Anshary,
Dari jalur lain;
10. Syaikh Abdullah bin Salim Al Bishry,
11. Syaikh ‘Ali Asy-Syibromullasi,
12. Syaikh ‘Ali Az-Ziyadi,
13. Syaikh ‘Ali Al-Halaby,
14. Al-Imam Muhammad bin Ahmad Ar-Romli,
15. Syaikh Al-Islam Zakaria bin Muhammad Al-Anshary,
Dari jalur lain;
10. Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bishry,
11. Syaikh Manshur Ath-Tukhi,
12. Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi
13. Syaikh Salim Asy-Syibsyiri
14. Syaikh Muhammad bin Ahmad alkhothib Asy-Syirbini
15. Syaikh Al-islam Zakaria bin Muhammad Al-anshary,
16. Syaikh Jalaludin Muhammad bin Ahmad Almahally
17. Syaikh Abi Zur’ah Ahmad bin Abd Rohim Al-Iraqy
18. Syaikh Abd Rohim bin Husain Al-Iraqy
19. Syaikh ‘Alauddin Al-‘Aththor
20. Al-imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya An-nawawy
21. Syaikh Kamaluddin Sallar Al-Ardabily
22. Syaikh Muhammad bin Muhammad Shohib Asy-Syamil
23. Syaikh Abd Ghofar Abd Rohman Al-Quzwiny
24. Al-imam Al-Qosim Abd Karim Ar-Rofi’i
25. Syaikh Ibn Fadhl bin Yahya,
26. Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghozaly
27. Syaikh Imam Al-Haramain,
28. Syaikh Abd Malik Al-Juwainy,
29. Syaikh Abdullah Al-Juwainy,
30. Syaikh Al-Qoffal As-Shoghir,
31. Syakh Abi Zaid Al-Mirwazy,
32. Syaikh Abi Ishaq Al-Mirwazy,
33. Syaikh Ahmad bin Suraij Al-Baghdady,
34. Syaikh ‘Utsman Al-Anmathi,
35. Syaikh Ismail Al-Muzany,
36. Al-Imam Al-A’dhom Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i,
37. Al-Imam Malik,
38. Al-Imam Nafi’
39. Ibn Umar bin Al-Khattab,
40. Shohibus Syari’ah Rasulillah Shallahu ‘Alaihi Wasalam

* Disamping itu ada silsilah yang menarik yang kesemuanya dari ulama Nusantara :
1. Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Al-Jumbani,
2. Syaikhina Kholil Bangkalan,
3. Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi,
4. Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari,
5. Syaikh Abd Shomad Al-Falimbany,
6. Syaikh ‘Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbany,
7. Syaikh Muhammad Thoyyib bin Ja’far Al-Falimbany,
8. Syaikh Al-Musnid Ja’far bin Muhammad Badruddin Al-Falimbany,
9. Syaikh Al-Musnid Muhammad bin ‘Alauddin Albabily,
10. Syaikh Al-Musnid Ahmad bin Salim As-Sanhuri,
11. Al-Imam Ibn Hajar Al-Haitamy,
12. Syaikh Al-Islam Zakaria bin Muhammad Al-anshary.


BERTEMU DENGAN KH. AHMAD DAHLAN
*Diantara guru beliau ada seorang ulama kontroversial yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, seorang ulama Nusantara yang telah mendapat izin mengajar sekaligus menjadi imam dan khatib di Masjidil haram.
Beliau mendukung gerakan pembaharuan Islam yang saat itu sedang digalakkan oleh Muhammad Abduh di Mesir dalam hal menepis Islam dari pengaruh ajaran-ajaran thareqat. Sementara para ulama Nusantara lainnya yang berada di Makkah seperti Al-Imam Nawawi, Syaikh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-Tirmasi, Syaikh Abd Karim dsb semuanya mendukung gerakan thareqat seperti guru-guru Kiai Hasyim yang lain. Meski demikian Ahmad Khatib menolak konsep Muhammad Abduh yang mengajak umat Islam untuk tidak bertaqlid alias berijtihad sendiri-sendiri (langsung mengambil dari Al Qur’an.red).

* Dimajlisnya banyak santri-santri Indonesia yang belajar pada Syaikh Ahmad Khatib, terutama dari Sumatera,bahkan tidak sedikit yang kemudian tertarik dengan ide Muhammad Abduh dan kemudian mereka berpindah ke Mesir untuk belajar di Al-Azhar. Dari mereka inilah awal munculnya gerakan modernisasi Islam di Indonesia. Dan di sinilah Kiai Hasyim bertemu dengan Ahmad Dahlan,seorang pendiri Muhammadiyah yang mengamini sepenuhnya pemikiran Ahmad Khatib. Sementara Kiai Hasyim dengan bekal ilmu dari tanah air yang cukup dan intensifitas beliau dengan Syaikh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-Tirmasi sama sekali tidak terpengaruh kecuali dengan semangatnya membangkitkan ummat Islam Nusantara dari keterpurukan.

JASA DAN PERJUANGAN.
Mendirikan Pesantren.
Sepulangnya di tanah air Kiai Hasyim Mendirikan Pondok Pesantren dengan membeli sebidang tanah milik seorang dalang ternama di desa Tebuireng, tepatnya pada tanggal 26 Rabi’ul awal 1317 H. (sekitar tahun 1899 M.). Di situlah beliau tinggal bersama santri-santri yang berawal hanya 8 orang. Kemudian dalam tempo 3 bulan jumlah santri bertambah hingga 28 orang.
*Pada mulanya beliau mendapat tantangan keras dari lingkungan yang memang dikenal sebagai kampung hitam, karena mayoritas penduduknya adalah pemabuk, penjudi, pencuri dan para perampok.
Berbagai gangguan dan rintangan telah mengancam beliau dan para santri hingga akhirnya beliau meminta bantuan para kiai di Cirebon yang terkenal akan keampuhannya itu. Mereka adalah; Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syansuri Wanantara, Kiai Abdul Jamil Buntet dan Kiai Abbas Kempek.
* Dari riadloh para Kiai inilah lambat laun musuh yang terdiri dari para preman dan geng desa Tebuireng akhirnya tunduk dan takluk di hadapan Kiai Hasyim. Bahkan diantara mereka ada yang minta diajari ilmu beladiri dan ilmu hikmah, bahkan tak sedikit pula yang akhirnya ikut menjadi santri dengan belajar, mengaji dan beribadah di pesantren tersebut.
* Keberadaan pesantren Tebuireng semakin diakui oleh masyarakat luas, bukan hanya masyarakat Tebuireng dan Jombang semata namun banyak pula orang-orang dari daerah lain yang ikut mondok menuntut ilmu pada Kiai Hasyim. Tercatat pada tahun 1915-an, Jumlah santri pesantren Tebuireng telah mencapai 2.000 orang yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Bahkan pondok pesantren Tebuireng mendapat pengakuan resmi oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 6 Februari 1907 M.

Mendirikan Jam’iyyah NU.
Cepat atau lambat gerakan pembaharuan Islam oleh Wahhabi di Arab Saudi sampai juga di Nusantara yang dibawa oleh sebagian alumni-alumni dari Timur Tengah. Sebagai langkah antisipasi, pada tanggal 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. di kampung Kertopaten Jombang Jawa timur, beliau mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama bersama KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syamsuri dan ulama-ulama besar lainnya, dengan azas dan tujuan yangnya “Memegang teguh pada salah satu mazhab yang empat dan mengerjakan apa apa yang membawa kemaslahatan bagi agama Islam”.
* KH.Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Ro’is Akbar NU, sebuah jabatan ditubuh NU yang hingga kini tidak ada seorangpun yang menyandangnya. Beliau jualah yang menyusun Qonun Asasi (peraturan Dasar) yang menjadi acuan dasar garis perjuangan NU dalam menjaga dan melestarikan faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. NU sebagai wadah yang menghimpun ulama Nusantara dengan sistem organisasi, tentu bukan hal mudah untuk menyatukan ulama yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya.
* Beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan membuka peluang yang lebih besar bagi lawan untuk menghancurkannya, baik itu penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar syi’ar Islam di Nusantara, dengan cara mengadu domba antar sesame. Oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama ulama lainnya.

Mendirikan Majalah.
* Untuk membudayakan tulis menulis dikalangan warga NU, bersama KH.Abdul Wahab Chasbullah, beliau mendirikan “Soeara Nahdlatoel Oelama” majalah yang edisi perdananya terbit pada tanggal 1 Shafar 1346 H./ 1930 M. (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, didalamnya juga menyuguhkan berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki cirri khas yang tak dijumpai di surat kabar lainnya, yakni bertuliskan jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf hija’iyah) -hal ini memungkinkan kaum kolonial / Belanda tidak bisa menyerap sepenuhnya informasi dari majalah ini-,red. Atas prakarsa dari beliau inilah kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara yang menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.
* Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti Pandji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Soeara Nahdlatoel Oelama sendiri. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubric Tanya jawab masalah fiqhiyah).
* Disamping itu beliau juga berperan besar pada pendirian kelompok-kelompok diskusi seperti Nahdlatoel Wathon (kebangkitan tanah air), didirikan pada tahun 1916, dan Taswirul Afkar pada tahun 1918. (Dikenal juga dengan nama Nahdlatul Fikri atau kebangkitan pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Sedangkan Taswirul Afkar tampil sebagai kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat kala itu, hingga memiliki cabang di beberapa kota.
* Waktu yang digunakan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari antara jam 10.00 sampai menjelang Dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk istirahat, membaca kitab dan atau menerima tamu yang rata-rata sekitar 50 orang setiap harinya.


Karya-karya beliau.
* Diantara karya-karya beliau adalah;
1. Al-tibyan fi an-nahy’an muqatthah al-arham wa al-aqarib wa al-ikhwan. Berisi penjelasan tentang larangan memutus silaturrahim sanak family, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-qanun al-asasy li jam’iyyah nahdlat al ‘ulama, Berisi pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdlatul Ulama.
3. Risalah fi ta’kid al akhdz bi mazhab al aimmah al arba’ah, Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh pada madzhab empat.
4. Mawaidz, Berisi beberapa nasihat penting.
5. Arba’in haditsan tata’alliq bi mabadi’ jam’iyyah nahdlat al ‘ulama , Berisi 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar jam’iyah Nahdlatul Ulama.
* Kelima kitab beliau yang disebut diatas dihimpun menjadi satu kitab yang diberi nama At-Tibyan, berjumlah 41 Halaman.

6. An nur al mubin fi mahabbah sayyid al mursalin, kitab yang menerangkan cinta kepada pimpinan para rasul, Rasulullah SAW.
7. At tanbihat al wajibat liman yashna al maulid bi al munkarat. Berisi peringatan bagi yang mengadakan perayaan maulid dengan dicampuri perbuatan yang dilarang syari’at.
8. Risalah ahlu al sunnah wa al jama’ah fi al hadits al mauta wa syar as sa’ah wa bayan mafhum al sunnah wa al bid’ah, Risalah yang menerangkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang kematian serta tanda-tanda hari kiamat dari sudut pandang Ahlussunnah wal Jama’ah.
9. Ziyadah ta’liqat a’la mandzumah as syaikh ‘abdullah bin yasin al fasuruany, Berisikan tambahan terhadap nadzom syaikh ‘abdullah bin yasin al fasuruany.
10. Dzu’ul misbah fi bayan ahkam an nikah, Cahayanya sebuah pelita yang benderang tentang hokum-hukum pernikahan.
11. Ad durasul muntasyirah fi masa’il tis’a ‘asyarah, Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
12. Hasyiyah ‘ala fath ar rahman bi syarah risalah al wali ruslan li syaikh al islam zakariya al anshari, Komentar atas kitab Fathur Rahman penjelas kitab Risalah Al Wali Ruslan karya Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari.
13. Ar risalah al tauhidiyah, Berisi Risalah tentang ketauhidan.
14. Al qala’id fi bayani ma yajibu min al aqa’id, Juga menerangkan tentang Tauhid.
15. Ar risalah fi al tashawuf , Menerangkan tentang ilmu Tashawuf.
16. Adab al ‘alim wa al muta’allim fi ma yahtaju ilaihi al muta’allim fi ahwal ta’limih wa ma yatawaqqaf ‘alaihial mu’allim fi maqat ta’limih, Kitab penting berisi kode etik para Kiai dan santri.
Kitab ini dianggap paling fenomenal, Menjadi salah satu bidang studi di berbagai lembaga pendidikan. Juga sering dijadikan para mahasiswa dalam membuat tesis maupun skripsi.

Gelar Hadhratus Syaikh.
* Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal dengan sebutan “Syaikhona Waliyullah”, Maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat gelar “Hadhratus Syaikh”. Gelar Maha Guru ini muthlaq diberikan kepada Kiai Hasyim sebab hampir seluruh ulama di tanah Jawa pernah berguru kepada beliau.Tercatat seperti KH. Abdul Karim, Pendiri ponpes Lirboyo Kediri, KH. Wahab Chasbullah, ponpes Tambak beras, KH. Romli, ponpes Darul ‘ulum, Dll.
* Meski demikian, Hal ini tidak membuat beliau sombong, beliau tidak pernah menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau sangatlah patut menyandang gelar tersebut.terbukti pada manuskrip asli karya-karya beliau, Disana tidak tercantum embel-embel tersebut menyertai nama beliau, seperti kiai, haji, syaikh, ‘alim, apalagi ‘allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih embel-embel yang sifatnya merendahkan diri kepada Allah SWT, beliau selalu menyertakan kata-kata Al-Faqir, Al-Haqir, sebelum namanya disebut.
Inilah salah satu sifat tawadlu’ yang beliau miliki.

Kepergian Beliau.
* Bagaimana pun hebatnya seorang manusia hidup didunia, pasti tak luput dari maut yang menjemput. Tak terkecuali Hadhratus Syaikh sebagai manusia biasa, beliau dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada malam Ramadhan, tepatnya tanggal 7 Ramadhan 1366 H.bertepatan dengan 21 Juli 1947 M.
* Kepergian Hadhratus Syaikh untuk salama-lamanya bukan hanya membawa kesedihan bagi umat Islam Indonesia, Luar negeri pun turut berduka. Mereka merasa sangat kehilangan seorang tokoh yang mereka banggakan.

Semoga apa yang beliau tempuh selama hidupnya dibalas oleh Allah dengan sebaik-baik balasan. Dan semoga dengan kepergian Kiai Hasyim, akan muncul Hasyim Asy’ari- Hasyim Asy’ari yang lain, baik dari dzuriyah, kerabat, santri maupun kaum muslimin. Amin Ya Rabbal ‘Alamiin.
(Khulasah manaqib ini disampaikan pada kegiatan diklat Ahlus Sunnah wal jama’ah di Ponpes Al-Mubarok, Medono, Pekalongan. bulan Ramadhan 1433 H).


*Penulis adalah pengasuh Ponpes Al-Mubarok, Medono, Pekalongan.




Redaksi memohon kepada pembaca yang budiman untuk mendoakan penulis agar diberi umur yang panjang dalam sehat dan afiyat serta istiqomah didalam berjuang untuk agama Allah.(redaktur)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
INGAT, PEMILU / PILKADA JANGAN GOLPUT :
SATU SUARA ADALAH SATU HARAPAN JIKA SATU SUARA TERBUANG BERARTI SATU HARAPAN HILANG
JIKA ANDA GOLPUT ANDA KEHILANGAN KESEMPATAN MEMPERBAIKI BANGSA INI

PEMBERITAHUAN LAMAN INI MENERIMA SUMBANGAN ARTIKEL KEASWAJAAN, KEBANGSAAN DAN KEINDONESIAN Kirimkan Artikel anda ke : alhasan-petarukan@gmail.com