English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
NAHDLATUL ULAMA BERKOMITMEN TETAP MEMPERTAHANKAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia

Inilah Ciri-ciri Aliran Salafy Palsu/ Wahabi !

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Sabtu, 31 Maret 2012 0 komentar



Inilah Ciri-ciri Orang Salafy Palsu/Wahabi !
1. Membagikan Tauhid kepada 3 Kategori yakni Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ was-Sifat.
2. Sering bertanya di mana Tuhan.
3. Meyakini Tuhan punya Tangan (anggota badan).
4. Meyakini Tuhan punya Muka (wajah asli).
5. Meyakini Tuhan punya arah dan tempat dan berada (bersemayam) di atas ‘Arasy.
6. Meyakini Tuhan punya lambung/rusuk.
7. Meyakini Tuhan turun dari ‘Arasy ke langit di malam hari.
8. Meyakini Tuhan punya betis.
9. Meyakini Tuhan punya jari-jemari.
10. Mendakwa dirinya ber-Manhaj Salaf dalam aqidah (tapi sangat bertentangan dengan aqidah Ulama Salaful ummah).
11. Memahami Nash-Nash Mutasyabihat menurut terjemahan bebas, tanpa merujuk ke kitab Ulama.
12. Mengkafirkan pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi (dua Imam Ahlus Sunnah Waljama’ah).
13. Mengkafirkan Sufi, dan menganggap Tasawwuf bukan ajaran Islam.
14. Sangat anti dengan sifat 20 pada Allah ta’ala.
15. Menuduh Imam Abu Hasan Asy’ari telah bertobat dari aqidah Asy’ariyah yang di yakini oleh kebanyakan ummat dan para Ulama terdahulu.
16. Menolak Ta’wil dalam bab Mutasyabihat.
17. Menuduh Ayah dan Ibu Rasulullah kafir dan tidak akan selamat dari Neraka.
18. Menuduh syirik Tawassul, Tabarruk dan Istighatsah dengan para Anbiya, Aulia dan Shalihin.
19. Sering mengajak kembali ke Al-Quran dan Sunnah dengan meninggalkan ilmu yang telah di wariskan oleh Ulama.
20. Sangat anti dengan pendapat Imam Madzhab dan pengikut Madzhab.
21. Mudah membid’ah-sesatkan amalan yang tidak sharih dan shahih menurut mereka.
22. Menuduh Maulid itu Tasyabbuh dan Sesat.
23. Menuduh Tahlilan, Yasinan itu Tasyabbuh dan Sesat.
24. Menyamakan orang baca Al-Quran di kuburan dengan penyembah kubur.
25. Menamakan diri dengan Salafi dan tidak mengakui nama Wahabi, seolah-olah Wahabi itu hanya fiktif.(www.warkopmbahlalar.com)

KOLEKSI TERBARU Perpustakaan.

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN 0 komentar


Info Perpustakaan:

Koleksi terbaru di Perpustakaan Remaja Al-Hasan "Cerdas Berkualitas" :

1. MANAGING THINK TANKS (Petunjuk praktis untuk pendewasaan organisasi)

2. MENGEMBALIKAN HAK UMAT (Pengalaman Nahdliyyin center pekalongan dalam membangun dan memperdayakan komunitas)

3. KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA (Standar Layanan Informasi Publik) dan 4 judul terbaru lainnya.

Adapun buku buku keaswajaan yang sudah lama tersedia di Perpustakaan remaja al-Hasan diantaranya adalah:
*Resolusi Jihad NU
*Kharisma Ulama
*Kritik atas Pembid'ahan Shalat Tarawikh 20 raka'at
*Membadah bid'ah dan Tradisi
*Antalogi NU
*Hujjah NU
*Menjadi NU menjadi Indonesia
*Petuah kiai sepuh
*Mengenal Nahdlatul Ulama
*Aswaja An-Nahdliyah
*I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah
*Tanya jawab Akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
*Membongkar kebohongan BUKU KIAI NU MENGGUGAT
*dan lain lain
Juga telah tersedia buku buku yang mengulas gerakan WAHABI/SALAFY, diantaranya adalah:
*Kamus syirik,Telaah kritis doktrin Salafy/Wahabi
*Menyingkap wahabiyah(salafy)
*Terbongkar! Lumbung dinar jaringan Islam radikal dan pertikaian Faksi-faksi wahabi,
*dan lain lain.
Tidak hanya itu, Buku buku tentang Motivasi dan Kepribadian, Kuliner dan Pengetahuan umum juga sudah tersedia,meski sedikit.
Maklum,jumlah keseluruhan koleksi Pustaka kami baru 284 eksemplar,Lumayan bisa "untuk membuat iba" para calon donatur,, Alhamdulillah.










Dakwah Kultural NU

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN 0 komentar

BID’AH, Tiba-tiba kata itu populer lagi, setelah untuk beberapa tahun terkubur oleh realitas yang sungguh menyejukkan. Kemesraan yang terjalin antar umat Islam di tanah air tanpa membedakan faham keber-agama-annya. Namun sayang, kemesraan itu kini terancam berantakan seiring dengan massifnya gerakan-gerakan salafy/wahabi yang menamakan diri “pemurnian” ajaran Islam dalam beberapa tahun belakangan ini. Dengan segala daya upaya tanpa mengenal waktu dan tempat mereka melakukan “intimidasi” dengan menuduh orang lain yang berseberangan faham telah melakukan bid’ah, melakukan sesuatu yang menurut mereka syirik dan sesat, bahkan ada yang sampai melakukan takfir (mengkafirkan) sesame mukmin. Dalam beberapa kasus mereka malah mengambil alih managemen masjid serta mengganti atau menghapus kegiatan masjid dengan hal-hal yang menurut mereka benar dan murni. Tak pelak, ini menimbulkan gejolak ditengah masyarakat yang nantinya sangat berpeluang memunculkan konflik.
NU adalah golongan yang selama ini sering dituduh sebagai pelopor praktik bid’ah, khurafat dan syirik, ini tidak lepas dari tradisi tahlil, istighotsah, diba’an dan ziarah kubur ke makam para wali yang memang banyak dilakukan oleh warga NU. Alhasil, bagi mereka, NU merupakan bid’ah maker (pencipta bid’ah). Karena bagi mereka bid,ah itu sesat, tidak perlu ada peninjauan apalagi pembagian makna bid’ah. Kullu bid’atin dlolalah, titik! Tidak perlu pembagian bid’ah hasanah atau dlolalah, apalagi pembagian bid’ah yang merujuk kepada hukum fikih yang lima.

Dakwah kultural NU dan bid’ah hasanah
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, masuknya Islam ke Indonesia adalah dengan cara damai, yakni dengan pendekatan dengan masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya salafussalih dan budaya lokal Nusantara). Berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M. telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H. / 1292 M., telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathutah, pengembara muslim yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H. / 1345 M. menuliskan dalam Kanzul ‘ulum bahwa di Aceh telah tersebar pengikut mazhab Syafi’i . Tapi baru abad 9 H (XV M) penduduk pribumi memeluk Islam secara missal. Inilah masa dakwah walisongo yang dating ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I Turki dengan menjadikan budaya dan tradisi lokal sebagai sarana atau media dakwah. Style inilah yang disebut dengan dakwah kultural yang dikembangkan oleh walisongo, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa literatur seperti “Ensiklopedi Islam”, “Tarikhul Auliya”, “ Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia” , “Seputar Walisongo” dan “Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya”.

Sebelum Islam masuk, mayoritas penduduk Nusantara beragama Hindu dan Budha, sehingga tradisi lokalnya amat kental diwarnai oleh dua agama tersebut. Oleh walisongo, tradisi lokal ini tidak dianggap sebagai musuh agama yang harus dibasmi selagi tidak ada larangan dalam nas syari’at. Justru sebaliknya, tradisi tersebut dimanfaatkan sebagai media dakwah. Kecintaan masyarakat jawa pada kesenian dimanfaatkan oleh walisongo untuk menciptakan tembang-tembang berisi ajaran Islam dalam bahasa jawa. Pertunjukan wayang diisi lakon Islami, kebiasaanberkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu diisi pembacaan kalimah Thayyibah, kebiasaan menyediakan makanan bagi anggota keluarga yang meninggal diubah menjadi bersedekah kepada tetangga yang berkumpul untuk berdoa. Bahkan Sunan Ampel – yang dikenal sangat hati-hati– menyebut kata Shalat dengan sembahyang dan menamai Langgar untuk menyebut Tempat shalat. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat dengan corak jawa dengan genteng yang bertingkat-tingkat, bahkan masjid kudus dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon da’i, walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha dalam mendidik cantrik dan calon pemimpin agama mereka.

Model dakwah kultural sebagaimana dipraktekkan oleh walisongo itulah yang oleh Nahdltul Ulama terus dipelihara dan dikembangkan di Indonesia dengan prinsip Al muhafadhah ‘ala al qadimis shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah. NU sangat terbuka dengan hal-hal baru yang membawa kemaslahatan bagi agama Islam walaupun Nabi tidak pernah mencontohkannya. Diantaranya sangat mendukung model dakwah dengan media televisi, telepon genggam, internet atau apapun yang sesuai dengan dengan perkembangan zaman dan tingkat kecerdasan ( Khaatibu an naasa bi qadri ‘uquulihim ) serta kecenderungan obyek dakwah ( umat ) selama tidak bertentangan dengan syar’i. Sungguh amat menggelikan melihat kelompok yang gemar menuduh bid’ah dengan alasan praktik tersebut tidak ada pada masa Nabi tapi ternyata mereka berdakwah melalui media majalah, radio dan internet!. Bukankah semua itu tidak ada pada zaman Nabi dan berarti Nabi pun tidak pernah melakukannya? Tidakkah berarti mereka juga bid’ah maker ?

Disadur dari tulisan H. RPA. Mujahid Anshori
Ketua Forum Silaturrahmi Ta’mir Masjid dan Musholla Indonesia
Majalah AULA No. 06 Tahun XXXIII edisi Juni 2011.


Masih Tentang Bid'ah

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Jumat, 30 Maret 2012 0 komentar

Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari'at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid'ah menurut pengertian istilah syara'. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang artinya sebagai berikut:
"Barang siapa yang didalam Islam merintis jalan (sunnah) kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan (sunnah) kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga ". (HR.Muslim). Dan beredar banyak hadits yang semakna ini.

Amal kebajikan seperti itu dapat disebut 'Bid'ah' hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru 'diadakan' disebut dengan nama Bid'ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid'ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. "Setiap bid'ah adalah sesat..." ("Kullu bid'atin dholalah"), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, maka hukumya haram, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits- hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru 'diadakan' ) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang diamalkan oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra., Khalifah 'Umar bin Khattab ra serta para sahabat lainnya esetelah wafatnya Rasulallah saw. yang amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari beliau saw. dan mereka kategorikan/ucapkan sendiri bahwa amalan itu sebagai amalan bid'ah (untuk lebih mendetail baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid'ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid'ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi'i tentang pemahaman bid'ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu'aim;

'Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah terpuji dan bid'ah tercela. Bid'ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid'ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid'ah yang tercela'.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi'i:
'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur'an, Hadits, Atsar atau Ijma'. Inilah bid'ah dholalah/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid'ah yang seperti ini tidaklah tercela'.
Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi'i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu 'Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-'Arabiy.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid'ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual mau pun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid'ah, namun dari segi ketentuan hukum syari't,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Dengan demikian ada bid'ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.


Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajr dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut : "Pada asalnya bid'ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara' bid'ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid'ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara', maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara', maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid'ah itu terbagi kepada hukum-hukum (fiqh) yang lima".

Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii 'Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho' ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa'id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori' dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan beliau ini yang tidak saya kutip disini.
Ada lagi golongan menganggap semua bid'ah itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bid'ah hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri membagi bid'ah menjadi beberapa macam. Ada bid'ah mukaffarah (bid'ah kufur), bid'ah muharramah (bid'ah haram) dan bid'h makruh (bid'ah yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bid'ah mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syari't, atau seolah-olah bid'ah diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.

Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154-pen.) bid'ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid'ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid'ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid'ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur'an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid'ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan) dan lain sebagainya.
5. Bid'ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari'at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari'at.
Bila semua bid'ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur'an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma'mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : 'Bid'ah ini sungguh nikmat'.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti ; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit-rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun ebaik itu kesalahan kecil maupun besare dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah langsung diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum'at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum'at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Quran dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu'nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw... Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid'ah/masalah yang baru seperti mengadakan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi'in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid'ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari'at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid'ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi'i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: "Bid'ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari'at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar'i adalah bagian dari agama".
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari'at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid'ah tercela.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah ebukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkahe, mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semuanya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan itikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan : "Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya". (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (do' perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. 'Aisyah ra. Yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid'h dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : "Saya bersama Sarwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat 'Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada 'Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bid'ah".
'Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid'ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah haram, dholalah/sesat yang pelakunya akan dimasukkan keneraka !
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid'ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid'ah tapi sebagai bid'ah al-Hasanah. Semuanya Ini dalam pandangan hukum syari'at bukan bid'ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.

Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan : Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar'i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid'ahtul hadyi (bid'ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. 'Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung'. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : 'Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan". (Al-Hajj:77)
Abu Mas'ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
'Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya'.
( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
'Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun".
Masih banyak lagi hadits yang serupa diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas'ud ra.

Sebagian golongan memberi ta'wil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah ; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa'ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa'ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan ta'wil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits diatas ini merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Saya tambahkan sedikit lagi mengenai makna hadits Rasulallah saw. yang menyuruh ummatnya agar senantiasa berpegang pada sunnahnya dan sunnah para Khulafa'ur Roosyidun sepeninggal beliau saw.:
"Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku". (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah thariqah yakni jalan, cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus.Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas berdasarkan makna hadits yang lain : "Para ulama adalah ahli-waris para Nabi ". Dengan demikian maka dapat berarti pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi'in, Tabi'it-Tabi'in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur'an surat An-Nisa : 63 : "Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)".
Para alim-ulama ebukan kaum awame yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas'ud ra. menegaskan : "Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ". Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hambal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid'atin dholalah (semua bid'ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid'ah itu antara penggunaannya yang syar'i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak fahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid'ah yang syar'i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari'at. Jadi bukan terhadap bid'ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid'ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at dan inilah yang disebut bid'ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru e yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itue kedalam bid'ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang 'am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid'ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid'ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma'ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid'ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan ? Sudah tentu Tidak ! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Alllah sendiripun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf .










K.H. Ridwan Abdullah (Pencipta Lambang NU) : Lambang NU Diperoleh Lewat Mimpi

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Rabu, 28 Maret 2012 0 komentar


Pelukis berbakat alam ini, bersama Wahab Chasbullah dan Mas Abdul Aziz, adalah trio yang berjasa kepada NU. Kenapa demikian? Malam itu Ridwan Abdullah (63 tahun) tertidur nyenyak di pembaringannya. Sebelum tidur, ia telah melaksanakan shalat istikharah, minta petunjuk Allah. Kakek sekian cucu itu terdesak waktu. Hasil karyanya ditunggu untuk dikibarkan di forum muktamar kedua Nahdlatul Ulama (NU) di salah satu hotel di Surabaya dua hari lagi. Padahal, ia telah menyanggupi sejak dua bulan sebelumnya, ketua panitia muktamar, K.H. Wahab Chasbullah, juga telah mengingatkan dirinya. Entah kenapa ilham untuk menciptakan lambang jam’iyyah ulama yang baru didirikan oleh Hadhratusy Syaikh K. H. Hasyim Asy’ari tahun lalu itu sulit didapat. Masalahnya, dia juga tidak mau sembarangan. Itu karena jam’iyyah ulama tersebut merupakan organisasi yang menghimpun ahli agama, sehingga lambangnya juga harus mencitrakan keberadaan, kepaduan, kesungguhan, dan cita-cita yang ingin dicapai. Keinginan yang begitu luhur itu terus didesak waktu.

Lambang NU Diperoleh Lewat Mimpi
Ketika malam telah larut dan Ridwan Abdullah terbuai tidur dalam nyenyak di keheningan malam, dia mimpi melihat gambar di langit biru. Ketika terbangun, jam dinding menunjuk angka dua. Segera diambilnya kertas dan pinsil dan ditorehkannya gambar mimpi itu dalam bentuk sketsa. Akhirnya, coretan itu pun selesai. Pada pagi harinya, sketsa itu disempurnakan lengkap dengan tulisan NU, huruf Arab dan Latin.

Hanya dalam waktu satu hari, lambang itu selesai, sempurna wujudnya seperti yang kita kenal sampai hari ini. Maklum, kiai Ridwan memang dikenal sebagai ulama yang punya keahlian melukis. Itulah sebabnya K.H. Wahab Chasbullah menugasinya membuat lambang jam’iyyah tersebut.
Namun, untuk merepresentasikannya di atas kain, dia kesulitan mencari bahan yang pas. Saking percaya kepada mimpinya, Ridwan juga berusaha mencari warna yang tepat dengan yang dilihatnya di mimpi. Namun, tidak mudah menemukan warna seperti itu. Beberapa toko kain di Surabaya yang didatangi tidak punya persediaan kain seperti itu. Akhirnya, di Malang kain itu ditemukan. Itu pun Cuma selembar, berukuran 4 meter x 6 meter. ‘Tak apalah,” pikirnya. Maka, di atas kain warna hijau ukuran 4 x 6 itulah, lambang NU pertama kali ditorehkan oleh pelukisnya, K.H. Ridwan Abdullah. Besoknya, 9 Oktober 1927, lambang itu dipancang di pintu gerbang Hotel Paneleh, Surabaya, tempat berlangsungnya muktamar NU kedua. Hal itu memang disengaja untuk memancing perhatian warga Surabaya, baik terhadap lambangnya maupun kegiatan muktamar itu sendiri. Maklum, segalanya masih baru bagi masyarakat. Umpan itu mengena. Pejabat yang mewakili pemerintah Hindia Belanda datang dari Jakarta. Saat mengikuti upacara pembukaan, dia dibuat terpana dan penasaran demi melihat lambang tersebut. Dia lantas bertanya kepada Bupati Surabaya yang berdiri di sampingnya. Karena sang Bupati tidak bisa menjawab, pertanyaan itu diteruskan kepada shahibul bait, H. Hasan Gipo. Ternyata yang punya gawe pun sama saja: tak tahu menahu! Dia hanya bisa mengatakan bahwa lambang itu dibuat oleh H. Ridwan Abdullah.

Selanjutnya, seperti yang dituliskan dalam buku Karisma Ulama, bahwa untuk menjawab teka-teki makna lambang NU itu dibentuk majelis khusus. Beberapa wakil dari pemerintah dan para kiai dilibatkan dalam forum tersebut, termasuk Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Di depan forum tersebut, K.H. Ridwan Abdullah memberikan presentasi untuk pertama kali. Dalam penjelasannya (menurut keterangan sebagian guru saya : K.H. Ridwan Abdullah menjelaskannya dengan bicara tanpa sadar/ istilah lainnya apa ... irtijal ?),
Kiai Ridwan menguraikan bahwa tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman Allah “Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai.” (Q.s. Ali Imran: 103). Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali berjumlah 99 melambangkan asmaul husna. Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad Saw. Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin. Empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang empat). Walhasil, seluruh peserta majelis sepakat, menerima lambang itu dan membuat rekomendasi agar muktamar kedua memutuskan lambang yang diciptakan oleh Kiai Ridwan tersebut menjadi lambang NU.

Kiai Raden Muhammad Adnan, utusan dari Solo, kemudian merumuskan uraian Kiai Ridwan tadi pada acara penutupan muktamar dengan mengatakan: “Lambang bola dunia berarti lambang persatuan kaum muslimin seluruh dunia, diikat oleh agama Allah, meneruskan perjuangan Wali Sanga yang sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad dan Khulafa’ Ar-Rasyidin, yang dibingkai dalam kerangka madzhab empat.
Kelak, 27 tahun kemudian, pada 1954, Kiai Ridwan mengulangi presentasinya itu, namun dalam bentuk utuh. Hal itu terjadi pada muktamar ke-20 NU di Surabaya. Lambang dunia, yang dibikin bulat seperti bola hingga dapat diputar, diletakkan di medan muktamar, yaitu di depan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
Bakat Alam Kiai Ridwan Abdullah lahir di Kampung Carikan Gang I, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada tahun 1884. pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanyan kemudian mengirimnya ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kiai Ridwan, Abdullah, memang berasal dari Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu.
Dari Buntet, Ridwan masih mengembara mencari ilmu ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, dan Pesantren Bangkalan, Madura, asuhan Kiai Cholil. Di Pesantren terakhir itulah, Ridwan menimba ilmu cukup lama dibanding yang di tempat lain. Sebagai kiai, Ridwan lebih banyak bergerak di dalam kota. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan kiai yang tinggal di pedesaan. Misalnya, sementara kiai di pedesaan mengaharamkan kepiting, ia justru menghalalkan. Ia dapat dikategorikan sebagai kiai inteletual. Pergaulannya dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto cukup erat. Apalagi, tempat tinggal mereka tidak berjauhan dengan rumahnya, di Bubutan Gang IV/20. karena tidak punya pesantren, ia sering megadakan dakwah keliling, terutama pada malam hari, yaitu di kampung Kawatan, Tembok, dan Sawahan. Sebelum NU berdiri, Kiai Ridwan mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan – lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kiai Wahab Chasbullah pada tahun 1916 – dan terlibat dalam kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1918), dua lembaga yang menjadi embrio lahirnya organisasi NU. Ketika NU sudah diresmikan, ia aktif di Cabang Surabaya dan mewakilinya dalam muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, pada tanggal 15 Juni 1938.

Dalam kehidupan rumah tangga, Kiai Ridwan menikah dua kali. Pernikahan pertama terjadi pada tahun 1910 dengan Makiyyah. Setelah dikaruniai tiga anak, sang istri meninggal dunia. Yang kedua dengan Siti Aisyah, gadis Bangil, yang dicomblangi oleh sahabatnya, Kiai Wahab Chasbullah. Kiai Ridwan wafat 1962, pada umur 78 tahun, dimakamkan di Pemakaman Tembok, Surabaya. Kiai Wahab Chasbullah (pendiri NU), K.H. Mas Alwi Abdul Aziz (pencipta nama NU), dan K.H. Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU) dikenal sebagai “tiga serangkai NU.”











Foto foto Perpustakaan REMAJA AL-HASAN Petarukan

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN 0 komentar

Sambil membaca,sambil klekaran/glelengan alias rebahan . di Perpus lain emang bisa?????

















Inilah Lemari perpustakaan kami, meski kecil tapi setidaknya masih muat untuk menaruh 300 buku lagi,, loh,,kok??
Ya iyalah,,, wong buku koleksinya saja masih sedikit !
Hehehe

Dibolehkannya Wanita Haid Menghadiri Majlis Taklim

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN 0 komentar


Apa susahnya bikin perkumpulan? Ibu-ibu di negeri ini biasa berkumpul untuk arisan, PKK, gerakan lingkungan hidup, kesejahteraan keluarga dan lain-lain. Patut dinilai positif gerakan kaum ibu ini. Mereka cukup punya militansi luar biasa terhadap perkumpulannya.Perkumpulan kaum ibu sangat efektif untuk sosialisasi program-program yang menyangkut kemaslahatan umum. Bagaimana tidak? Kaum ibu adalah jantung dari komunitas terkecil kehidupan sosial. Mereka mudah masuk ke pihak bapak dan anak mengingat posisinya yang sangat strategis di tengah keluarga.

Majelis taklim, bukan perkecualian untuk dibentuk oleh kaum ibu. Hampir setiap kampung di negeri ini, majelis taklim kaum ibu berdiri. Layaknya transportasi kota, majelis taklim adalah patas AC. Penumpang di dalamnya menemukan kesejukan. Perkumpulan kaum ibu yang satu ini memiliki keistimewaan dan hukum tersendiri meskipun sama penting dengan perkumpulan kaum ibu di bidang yang lain.

Sebelum wejangan berhamburan dari mulut para ustazah, lantunan shalawat dan rupa-rupa zikir membahana aula majelis. Pengeras suara semacam perangkat yang mendekati wajib untuk digunakan. Ini satu keistimewaan tersendiri. Mereka yang berada dalam masa suci, tak lupa mengambil air sembahyang terlebih dahulu meski bukan untuk melakukan sembahyang. Ibu dari beragam latar belakang sosial dan pendidikan, tak peduli suaminya memeluk profesi apapun, masuk lebur dalam perkumpulan ini.

Perkumpulan kaum ibu dalam wadah majelis taklim ini, tak pernah tersandung hukum sehingga kehadirannya tak membutuhkan izin birokrasi pemerintah yang berbelit. Mereka jauh dari agenda politik bawah tanah. Apalagi niat kudeta, sungguh sama sekali tak terbesit. Singkat cerita, perkumpulan ini murni gerakan kultural-keagamaan.
Tetapi adakah perkumpulan ini dimaksudkan untuk ibu yang suci saja, tidak bagi ibu yang tengah haid atau nifas?

Dilihat dari sudut fiqh, ternyata tak ada masalah. Ibu yang sedang haid atau nifas, boleh langsung sambar sandalnya untuk menuju majelis taklim tanpa perlu mengambil air sembahyang. Keduanya boleh ikut berzikir apa saja tanpa menyentuh tulisannya. Untuk bacaan yang terkait ayat Al-quran, keduanya boleh membacanya dengan niat zikir, bukan niat membaca Alquran.

Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja

ولا يحرم على الحائض والنفساء حضور المحتضر على المعتمد

Tiada keharaman bagi wanita yang tengah haid atau yang tengah menanti habisnya masa nifas untuk menghadiri tempat hadir (majelis taklim– penulis),

Boleh dibilang bahwa haid dan nifas bukan alasan untuk libur beraktifitas, termasuk kegiatan perkumpulan majelis taklim. Karena, kaum ibu sangat baik terlibat dalam kegiatan yang menyangkut maslahat umum, terlebih lagi perkumpulan majelis taklim. Perkumpulan ini punya catatan tersendiri di sisi Allah Swt.

Keutamaan Shalat Berjama'ah

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Selasa, 27 Maret 2012 0 komentar


Diantara keistimewaan dan kemuliaan umat Baginda nabi Muhammad SAw adalah shalat berjama'ah yang pahalanya besar sekali. Shalat berjamaah dua puluh lima atau dua puluh tujuh kali lipat daripada shalat sendirian.
Sahabat Ibnu Umar berkata bahwa Baginda Nabi SAW bersabda:
صلاة الجماعة افضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة. وفى رواية: بخمس وعشرين درجة.
"shalat berjamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat." didalam satu riwayat disebutkan: dua puluh lima derajat (HR. Bukhari-Muslim)
Perselisihan diantara dua puluh lima dan dua puluh tujuh itu, menurut Imam Nawawi karena berbeda-bedanya shalat serta orangnya. kadang-kadang sebagian mereka da yang mendapat dua puluh lima dan sebagian ada yang mendapat dua puluh tujuh, karena yang satu lebih sempurna daripada yang lain, baik hai'at shalatnya, kekhusyu'annya, banyaknya jama'ah dan kemulian tempatnya.
sahabat Usman telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
من توضأ فاسبغ الوضوء ثم مشى إلى صلاة مكتوبة فصلاها مع الإمام غفر له ذنبه.
" barang siapa berwudlu dengan sempurna kemudian pergi kemasjid untuk shalat fardlu,disana ia shalat dengan imam, maka dimpuni dosanya."
Sahabat Ibnu Abba berkata rasulullah SAw. bersabda:
اتانى الليلة أت من ؤبي فقال لي: يا محمد، قلت لبيك رب وسعديك قال : هل تدرى فيم يختصم الملأ الأعلى قلت لا اعلم فوضع يده بين كتفي حتى وجدت بردها بين ثديى أو قال: فى نحرى فعلمت ما فى السموات وما فى الارض، او قال ما بين المشرق والمغرب. قال يا محمد أتدرى فيم يخصم الملأ الأعلى؟ قلت : نعم. فى الدرجات والكفارات ونقل الأقدام إلى الجماعات.
"semalam datang seorang utusan tuhan. katanya kepadaku, "hai Muhammad!" jawabku, "saya tuanku." ia bertanya, "tahukah engkau tentang apakah al-mala'ul a'la 9malaikat) berbantah-bantahan?" jawabku, "saya tidak tahu"! kemudian ia meletakkan tanganya diantara dua bahuku hinga kesegaran tangannya sampai pada dadaku. atau beliau berkata (ada keraguan perawi), meletakkan tangannya dileherku hinga aku mengeri apa yang dilangit dan dibumi. atau beliau berkata; hingga aku tahu apa yang ada ditimur dan barat. ia berkata: hai Muhammd, tahukah engkau tentng al-mala'ul a'la berbantah-bantahan? jawabku: benar aku tahu. yaitu tentang derajat, peleburan dosa, dan perhitungan langkah kaki menuju ketempat berjama'ah.
Orang yang memelihara shalt berjama'ah akan memperoleh duaa karunia yang agung, yaitu: 1. akan dibebaskan dan diselamatkan dari api neraka 2. diselamatkan dari sifat-sifat munafiq, keraguan dalam memeluk agama, memperoleh kesucian hati dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, memperoleh cahaya kebenaran sehingga terhindar dari kehinaan dan kerendahan serta perbuatan dosa kecil atau dosa besar.
Sahabat Anas bin Mali mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: من صلى لله أربعين يوما فى جماعة يدرك التكبيرة الأولى كتب له براءتان: براءة من النيران وبراءة من النفاق.
" barang siapa salat berjamaah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir yang pertama bersama imam, maka dicatat untuknya dua kebebasan: bebas dari neraka dan bebas dari sifat-sifat munafiq.
Sumber: Terjemah Kitab شرف امة المحمدية









Mempercayai Hari Na'as

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Senin, 26 Maret 2012 0 komentar




Hingga sekarang, banyak sekali masyarakat muslim Indonesia yang masih percaya dengan berbagai hitungan ghaib. Terutama dengan hari-hari na'as, yaitu hari-hari tertentu yang dianggap dapat mendatangkan kesialan. Misalkan hari yang jika ia berdagang maka dagangannya tidak laku, atau hari yang menyebabkan kecelakaan jika berpergian dan lain sebagainya.

Hal ini tidak dibenarkan dalam islam, karena dianggap sebagai pola pikir orang Yahudi yang tidak pernah bertawakkal kepada Allah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawaal Haditsiyah,


مَنْ يَسْأَلْ عَنِ النَّحْسِ وَمَا بَعْدَهُ لإِيْجَابٍ إِلاَّ بِاْلإِعْرَاضِ عَنْهُ وَتَسْفِيْهِ مَا فَعَلَهُ وَيُبَيِّنُ لَهُ قُبْحَهُ وَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةِ الْيَهُوْدِ لاَ مِنْ هَدْيِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَى خَالِقِهِمْ وَبَارِئِهِمِ الَّذِيْنَ لاَ يَحْسَبُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. وَمَا يُنْقَلُ مِنَ الأَيَّامِ الْمَنْقُوْطَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ عَلِيِّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ بَاطِلٌ كَذِبٌ لاَ أَصْلَ لَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنْ ذَلِكَ.


“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu”.[ al-Fatawaal Haditsiyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1390 H/1970 M), Cet. ke-2, h. 28.)

Sumber: Sekretariat PBNU, 2010. Ahkamul Fuqaha. Jakarta: PBNU











Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
INGAT, PEMILU / PILKADA JANGAN GOLPUT :
SATU SUARA ADALAH SATU HARAPAN JIKA SATU SUARA TERBUANG BERARTI SATU HARAPAN HILANG
JIKA ANDA GOLPUT ANDA KEHILANGAN KESEMPATAN MEMPERBAIKI BANGSA INI

PEMBERITAHUAN LAMAN INI MENERIMA SUMBANGAN ARTIKEL KEASWAJAAN, KEBANGSAAN DAN KEINDONESIAN Kirimkan Artikel anda ke : alhasan-petarukan@gmail.com