English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
NAHDLATUL ULAMA BERKOMITMEN TETAP MEMPERTAHANKAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia

Maulid Nabi dan Kultus individu?

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Rabu, 24 Maret 2010 0 komentar

Di bulan Maulud ini, alhamdulillah, benak si Otong nggak bisa lepas dari Baginda Rasul Shalallahu ' Alaihi Wa aalihi wasallam . Ketika diundang peringatan mauludan di kampung sebelah, si Otong sampai tak kuasa menahan air mata waktu mas Krisna, sang penceramah, memutar MP3 asyraqal-an di penghujung ceramahnya. Suara-suara yang mengatakan bid'ah pada mauludan kali ini sudah nyaris tak terdengar di kampung itu, yang menurut mas Krisna waktu ngobrol2 sehabis ceramah, "alhamdulillah, berkat ceramah2 dan khutbah2 nya pak Haji Yunus beberapa waktu lalu, mereka yg tadinya suka menuduh bid'ah itu bisa dikasih pengertian". " Cuma sayangnya", lanjut mas Krisna, masih dengan logat Jawanya yg kental, "beberapa orang masih kuatir jangan2 mauludan, simthud dhurar, dan shalawatan bisa menjurus kepada kultus individu. Gimana tuh menurut mas Otong? Njenengan kan deket ke wak Haji Yunus. Bagi2 dong ilmunya". "Kalau soal deket sih, Ujang tuh lebih deket lagi", Si Otong nyengir, sambil mengisyaratkan tangannya ke arah Ujang yang lagi sibuk nyomot makanan sana sini. "Sayang memang wak Haji Yunus masih di luar kota , jadi nggak bisa hadir hari ini. Tapi gini lho, Jlitheng kakangku", si Otong menirukan gaya Bima memanggil Sri Kreshna di pewayangan :-), "prinsipnya adalah, bahwa sesuatu itu dikatakan KULTUS individu kalau ianya melebihi dari apa yang seharusnya layak diterima individu itu. Contohnya mas Krisna kedatangan tamu seorang siswa SMU, terus mas Krisna memuji-mujinya seperti layaknya memuji seorang PhD matematika lulusan UQ. Terus lagi, mas Krisna menanyakan persoalan matematika pada level doktoral yang rumit karena yakin akan mendapat jawaban yang tepat darinya. Nah, ini namanya mas Krisna telah mengkultuskan siswa SMU tadi". "Sebaliknya", lanjut Otong, "jika sesuatu itu kurang dari selayaknya, maka ini dinamakan PENGHINAAN. Contoh, dalam kasus tamu siswa SMU itu tadi, sampeyan mengajaknya ikut ngebantu ngerjain PR matematikanya Sheila, putri sampeyan yang masih SD itu, misalnya, karena menganggap pengetahuan matematika tamu itu cuman segitu. Nah, ini namanya penghinaan, bukan?". "Iya ya, mas Otong. Sebetulnya sederhana aja nggih prinsipnya", timpal mas Krisna, "jadi kalau yang bukan KULTUS dan bukan PENGHINAAN itu namanya ADIL, nggih to?" "Betul, mas Krisna. Adil, sesuai sabda Imam Ali AS, adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Nah, sekarang tinggal kita apply-kan saja prinsip ini kepada amalan2 macam simthud dhurar, barzanjian, shalawatan dan lain2 pujian2 kepada Rasul SAW itu. Apakah amalan2 itu termasuk kultus individu atau bukan?" "Lha, kalau mereka masih ngotot bahwa shalawatan dan pujian2 yang terlalu banyak dan terlalu sering itu masuk kategori kultus individu, gimana tuh?" tanya mas Krisna. "Ya kita minta aja mereka membuktikannya. Tentu saja, harus didukung nash Al Quran dan Hadits. Sejauh yg saya tahu, dan saya yakin mas Krisna juga tahu, nggak ada tuh ayat Quran dan Hadits yg membatasi kita dalam bershalawat dan memuji Rasul SAW. Artinya, di luar ibadah2 yang udah tertentu tatacaranya seperti shalat misalnya, kita boleh saja bershalawat sebanyak dan sesering kita mampu." "Iya ya, nggak ada pembatasannya ya." "Itulah, mas Krisna. Justru Al Quran memerintahkan kaum mu'minin untuk bershalawat ke atas Rasul SAW, sebab Allah dan malaikat-Nya pun bershalawat. Di ayat yang lain, ketika menceritakan Mi'raj-nya Rasul SAW, Al Quran menyatakan kedekatan Rasul SAW kepada Allah ibarat dua busur panah, atau lebih dekat lagi. Ini sebuah ketinggian maqam yang luar biasa, lebih tinggi dari sidratul muntaha, yang nggak ada mahluk lainnya bisa mendekati. Di ayat lainnya lagi, Al Quran mengatakan "innama akramakum 'indallahi atqakum", dan tidak ada seorangpun muslimin yang meragukan bahwa Muhammad SAW adalah yang paling taqwa di antara seluruh manusia, jin dan malaikat. Maka, jelas sekali kesimpulan dari Al Quran adalah: Muhammad SAW itu mahluk PALING MULIA di sisi Allah. Dengan keadaan yang seperti ini, maka hanya ada SATU saja pembatas dalam kita memuji- muji dan bershalawat kepada Muhammad SAW." "Saya tahu, mas Otong", sela mas Krisna, " pembatasnya adalah: tidak menganggap Muhammad SAW sebagai Tuhan, bukan?" "Benar sekali, mas Krisna. Itulah satu-satunya pembatas. Makanya, selama kita nggak menganggap Muhammad SAW itu Tuhan, selama kita nggak menganggap Muhammad SAW itu punya independent power, selama kita masih berkeyakinan bahwa Muhammad SAW itu adalah Mumkin al Wujud, dan bukan Sang Wajib al Wujud, maka selama itu pula kita boleh memuji, berterimakasih, dan bershalawat kepada beliau SAW dan ahlulbaitnya AhS sebanyak dan sesering mungkin. Sungguh, kalau Allah tidak menciptakan Muhammad wa aali Muhammad ( shallawatullah ' alaihim ), semesta dan seisinya, termasuk kita semua ini, tidak akan tercipta. Karena itu, ucapkanlah sesering mungkin, dibarengi kekhusyukan hati: Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad." Ya abal Qaasim, ya rasulallah, ya imam arrahmah, ya syafii'al ummah, ya kaasyifal ghummah Ya hujjatallahi 'ala khalqih, ya sayyidana wa maulana inna tawajjahna wastasyfa'na wa tawassalna bika ilallah wa qaddamnaaka baina yaday haajaatina fiddunya wal aakhirah ya wajiihan 'indallah, isyfa'lana 'indallah Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Ingin bangga jadi orang NU

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Selasa, 23 Maret 2010 0 komentar


"Afdolnya, ketua umum PB NU bukan dari kalangan politisi." Itu kata Mas Karso Wachidi, orang Cilacap, Jawa Tengah. Menurut warga NU yang amat setia itu, hanya orang yang punya semangat mengembangkan pemberdayaan masyarakat yang bisa mengubah gerakan NU yang sekarang melempem ini. Masih kata Mas Karso, selama ini arah gerakan NU lebih berorientasi elitis, mengerucut ke atas, melayani kepentingan para elite. Padahal, seharusnya gerakan NU berorientasi populis, melebar ke bawahuntuk menyejahterakan umat. Kalau tidak terjadi perubahan orientasi itu, NU akan tetap seperti sekarang; mati tidak, hidup juga tidak. Dengan begitu, kondisi warganya akan tetap serba tertinggal. "Menjadi orang NU saat ini tidak ada bangga-bangganya, malah sebaliknya, malu! Sebab, lembaga maupun warga NU sudah tercitra sebagai entitas yang ketinggalan zaman, terpecah-belah, dan lebih dimainkan untuk mendukung kepentingan kekuasaan para tokoh dan pemimpinnya. Saya ingin tidak malu lagi jadi orang NU. Tolong sampaikan perasaan saya ini kepada mereka yang di atas; percayakan kepemimpinan NU kepada orang yang benar-benar ingin berkhidmah kepada umat. Orang seperti ini bisa melihat alamat Allah pada wajah umat yang bodoh, dibodohi, miskin dan dimiskinkan. Dan itu jelas bukan dari kalangan politisi." *** Mas Karso adalah warga NU biasa. Kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan. Pekerjaannya pun tidak tetap. Kelebihan Mas Karso hanya pada kesetiaannya terhadap NU yang luar biasa, tahan banting. Namun, penilaian dan harapannya tadi tidak mungkin diabaikan. Mas Karso telah mengemukakan dan menggugat sesuatu yang sangat mendasar. Karena amat mendasar, bila gugatan itu tidak dipenuhi, NU akan kehilangan masa depan. Dan bisa dipastikan gugatan Mas Karso sesungguhnya mewakili suara hati banyak warga NU di tingkat akar rumput yang ingin bangga dan tidak lagi malu menjadi warga nahdliyin . Menurut alur pikir Mas Karso, kebanggaan menjadi warga NU mungkin terwujud hanya bila organisasi massa ini meninggalkan orientasi elitis dan berbalik 180 derajat menjadi berorientasi populis atau keumatan. Dengan orientasi itu, agenda-agenda untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan nyata umat harus menjadi prioritas utama. Masalah-masalah sosial yang membelit umat seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi dan SDM akan menjadi agenda nomor satu. Pada sisi lain, kegiatan-kegiatan ritual-simbolik yang ternyata juga menyerap banyak sumber daya umat bisa dikurangi sampai ke titik yang lebih proporsional. Tentulah banyak warga nahdliyin yang setuju dengan pikiran Mas Karso, termasuk saya. Tapi, realitasnya hingga saat ini NU tetap berorientasi elitis dengan segala akibat negatifnya yang terlihat jelas. Pemenuhan kebutuhan umat akan sekolah yang baik, rumah sakit, koperasi, pendampingan di bidang pertanian masih sangat minim. Semua itu gara-gara NU tetap berorientasi ke atas. Hal tersebut mengingatkan saya kepada ucapan Gus Dur kepada saya pada sekitar 1996. Saat itu Gus Dur bilang kepada saya, "Bila NU tidak bisa memberikan manfaat nyata kepada umat dan hanya digunakan untuk membela kepentingan para elitenya, saya akan mengambil jarak dari kepengurusan." *** Kenyataan yang terbukti membuat NU makin payah ini pernah saya diskusikan dengan Mas Karso. "Mas, membalik orientasi NU ke arah kemaslahatan umat memang bagus. Tapi, apa hal itu mungkin dan tidak akan menjadi retorika belaka?" tanya saya. "Kenapa tidak mungkin?" "Mari kita renungkan. Dari namanya saja, NU sudah cenderung elitis. Bukankah NU berarti kebangkitan para ulama dan ulama adalah kelompok elite di kalangan umat? Dengan demikian, NU juga milik para ulama. Maka, NU mau diberi orientasi ke mana pun adalah hak si pemilik. Umat hanya menempati posisi objek yang harus taat saja. Iya kan ?" Mata Mas Karso terbelalak. Dia mengusap-usap dahi dan wajahnya tampak gagap. "Sampean benar dan itulah kenyataannya. Tapi, nanti dulu. Dalam hal keagamaan, umat memang wajib taat kepada pemimpin, dalam hal ini para ulama. Itu kewajiban umat yang sudah jadi harga mati. Tapi, NU adalah sebuah organisasi massa. Jadi, kepentingan dan kesejahteraan umat itulah, yang utama. Dan itu menjadi kewajiban harga mati para pemimpin. "Jelasnya begini," sambung Mas Karso. "Saya meyakini NU adalah kendaraan umum buatan para ulama- mukhlisin (ulama yang ikhlas, Red), disopiri para ulama- mukhlisin untuk mengangkut umat..." "Ke mana?" potong saya. "Ya, mestinya bukan ke arah yang lain -kepentingan para pemilik untuk meraih kekuasaan misalnya- tapi ke arah kemaslahatan umat. Yang dituju oleh NU mestinya masyarakat nahdliyin yang maju pendidikannya karena dulu para ulama sudah membangun lembaga tasfirul afkar ; yang maju ekonominya karena semangat nahdlatut tujar , serta yang maju jiwa kebangsaannya karena semangat nahdlatul wathan . Bila NU dibawa atau dipakai untuk mencapai kekuasaan, siapa yang membawanya? Ulama atau bukan ulama?" Saya diam dan senyum. "Kendaraan NU buatan para ulama-mukhlisin harus diarahkan menuju kemaslahatan umat," tegas Mas Karso. "Dan itu hanya mungkin dicapai bila NU dipimpin oleh orang yang bisa menangis ketika melihat keterbelakangan umat dan pemimpin seperti itu pasti bukan dari kalangan politisi?" tanya saya mengulang. Saya melihat Mas Karso mendesah panjang. "Sebenarnya tidak demikian benar. Politikus, kalau dia juga negarawan, tentu bisa merasa terharu ketika melihat jutaan umat yang miskin, bodoh, dan sakit- sakitan. Masalahnya, masih adakah politikus-negarawan saat ini. Tidak! Politikus Indonesia saat ini adalah kaum yang kemaruk dan manja, pragmatis semua, dan selalu bermimpi tentang kejayaan diri. Umat dinomorsekiankan." "Baik, Mas Karso, saya setuju. Dengan demikian, siapa pilihan sampean untuk calon rais am dan ketua umum PB NU?" "Ah, saya kan tidak punya hak memilih. Walaupun begitu, saya punya kriteria. Yakni itu tadi; siapa saja yang bisa membuat kita tidak lagi merasa malu menjadi orang NU, silakan memimpin NU dan kita dukung. Mereka haruslah orang yang bisa melihat kemiskinan dan kebodohan umat sebagai alamat Allah. Dan kepada falah yang diridai Allah-lah, mereka akan membawa kita," jawab Mas Karso dengan mata menyala-nyala.

NU dan Kemiskinan

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN 0 komentar


DALAM Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar yang ramai dibicarakan adalah soal calon pengurus, baik syuriyah maupun tanfidziyah PBNU. Pembicaraan kandidat rais aam dan ketua umum PBNU memang penting tetapi membahas program guna mengatasi persoalan umat juga sangat penting. Kalau yang pertama menyangkut intern organisasi, yang kedua selain intern juga mengait ekstern organisasi karena yang terakhir ini bertaliandengan sumbangsih NU dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu persoalan klasik yang dihadapi umat adalah masalah kemiskinan. Tentu masalah ini juga mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga lain, termasuk asing. Sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, NU juga tidak mau ketinggalan berperan serta dalam mengatasi masalah kemiskinan ini. Bahkan sejak awal berdirinya, organisasi keagamaan tradisional ini telah merintis gerakan ekonomi kerakyatan yang diberi nama oleh KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai nahdlatu al-tujar ( kebangkitan perdagangan). Kemudian pada Muktamar Ke-1 tanggal 21 Oktober 1926 , NU antara lain membahas masalah hasil usaha suami istri (harta gono gini), dan masalah upah pekerja. (Ahkam Al-Fuqoha, hlm. 18). Hal ini menunjukkan bahwa NU berupaya agar masyarakat tidak hanya mencari bekal akhirat semata tetapi juga mencari kebahagiaan di dunia. Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Data dari BPS menunjukkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada 1996 jumlah penduduk miskin 34 ,01 juta ( 17 ,47 %) dan pada 1999 menjadi 47 ,97 juta (23 ,43 %). Berarti pada tahun 1996-1999 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin 13 ,96 juta karena adanya krisis ekonomi. Kemudian tahun 2002 penduduk miskin berubah menjadi 38 ,40 juta, berarti terjadi penurunan dari 47 , 97 juta (23 ,43 %) pada 1999 menjadi 38 ,40 juta (18 ,20 %) pada 2002. Selanjutnya jumlah penduduk miskin turun lagi menjadi 35 ,10 juta (15 ,97 % ) pada 2005. Namun meningkat lagi jumlahnya pada Maret 2006 menjadi 39 ,05 juta (17 ,75 %). Dari data tersebut menunjukkan bahwa belum banyak prestasi pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini. Kemiskinan membuat jutaan anak-anak tidak bisa menempuh pendidikan berkualitas, dan mengalami kesulitan membiayai kesehatan. Kemiskinan juga telah membatasi hak-hak rakyat dalam memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan memperoleh perlindungan hukum, memperoleh rasa aman. Juga membatasi hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup yang terjangkau, memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan, memperoleh keadilan, dan bahkan hak mereka dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan. Dari berbagai analisis menganai kemiskinan di Indonesia dapat dipahami adanya tesis umum bahwa, kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan karena penduduk miskin tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka. Dengan adanya kesenjangan lebar antara penduduk kaya dan miskin maka upaya (ikhtiar) NU tidak sekadar mengentaskan (warga dari) kemiskinan tersebut dari sudut pandang agama, seperti mendorong pemeluknya giat beribadah dan bekerja secara seimbang serta distribusi sedekah, infak, zakat dan kurban semata, tetapi juga melakukan upaya advokasi kebijakan dan pendampingan kepada penduduk miskin untuk melakukan usaha ekonomi produktif. Tolong-menolong Gerakan ekonomi NU yang menonjol diekspose adalah pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendirikan beberapa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusuma serta mendirikan koperasi dan ruko serta rukan. Hal ini dilanjutkan oleh KH Hasyim Muzadi dengan mendorong PCNU mendirikan baitul mal wa tamwil (BMT) seperti di Semarang, Magelang dan daerah-daerah lain. Pengurus Cabang NU Kota Pekalongan mempunyai program menarik yang dinamakan Nahdliyyin Centre ( NC). Konsep dasar NC ini adalah orang miskin menolong orang miskin. Banyak kegiatan sosial ekonomi yang mereka lakukan sebagai upaya tolong menolong ( taĆ­awun) dan kerja sama (syirkah) di antara mereka. Kemudian yang berbentuk advokasi kebijakan misalnya dilakukan oleh PWNU NTB dengan mendirikan Madrasah Anggaran yang merupakan ikhtiar mendorong warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di daerahnya. Kemudian PCNU Jepara dan PCNU Situbondo melakukan hal serupa dengan menggelar berbagai halaqah (diskusi) bedah APBD dengan mengikutsertakan para kiai, santri, dan tokoh masyarakat agar pemerintah lebih berkomitmen mengalokasikan anggaran untuk keperluan publik. Berbagai gerakan tersebut menunjukkan bahwa kepedulian NU dalam masalah kemiskinan tersebut masih terbatas. Karena itu, melalui muktamar ke-32 , kita berharap agar hal ini dapat meluas menjadi gerakan sosial di kalangan nahdliyyin. (10) — Mohamad Muzamil, Wakil Sekretaris Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
INGAT, PEMILU / PILKADA JANGAN GOLPUT :
SATU SUARA ADALAH SATU HARAPAN JIKA SATU SUARA TERBUANG BERARTI SATU HARAPAN HILANG
JIKA ANDA GOLPUT ANDA KEHILANGAN KESEMPATAN MEMPERBAIKI BANGSA INI

PEMBERITAHUAN LAMAN INI MENERIMA SUMBANGAN ARTIKEL KEASWAJAAN, KEBANGSAAN DAN KEINDONESIAN Kirimkan Artikel anda ke : alhasan-petarukan@gmail.com