English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
NAHDLATUL ULAMA BERKOMITMEN TETAP MEMPERTAHANKAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia

SERAT DJAWI>Belajar Budaya Sendiri

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Minggu, 01 November 2009


PUSTAKA RAJA PURWA

Pustaka raja purwa adalah kumpulan cerita yang dipakai sebagai acuan oleh para dhalang dalam pertunjukan wayang kulit di pulau Jawa. Kumpulan cerita ini dikumpulkan dan dinyatakan secara tertulis oleh pujangga keraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Rangga Warsita. Walaupun sumber cerita dari pustaka raja purwa ini berasal dari Mahabarata dan Ramayana dari India, namun beberapa isi detailnya telah disesuaikan dengan keadaan di pulau Jawa pada waktu itu.

Beberapa modifikasi cerita ini misalnya dewi Drupadi dalam cerita aslinya adalah istri dari kelima saudara Pendawa, tetapi dalam pustaka raja purwa ia hanya dinyatakan sebagai istri dari saudara tertua Pendawa yaitu Puntadewa (Yudistira). Hal ini untuk menghindari kemungkinan timbulnya konflik sosial, karena seorang wanita tidak bisa mempunyai 5 orang suami. Hal ini penting karena di pulau Jawa, cerita wayang dipakai sebagai petuah, contoh dan pedoman hidup kebanyakan masyarakat pada waktu itu.

Judul lakon cerita dalam pustaka raja purwa ini ada lebih dari 177 lakon/lampahan dan di antaranya adalah (dalam bahasa Jawa):

1. Manikmaya, yaitu cerita mengenai Manik (Bathara Guru di kahyangan) dan Ismaya (Semar di alam marcapada/dunia).
2. Watugunung, yaitu cerita mengenai Raden Buduk dari kerajaan Gilingwesi yang mengawini ibunya sendiri.
3. Mumpuni, yaitu cerita mengenai perkawinan antara dewi Mumpuni dan bathara Yamadipati.
4. Wisnu krama
5. Bambang Kalingga/Sekutrem
6. Palasara krama
7. Dewabrata
8. Pandu lair
9. Narasoma kawin
10. Puntadewa lair
11. Suyudana lair
12. Bima bungkus
13. Arjuna lair
14. Yamawidura kawin
15. Pandhu papa
16. Palgunadi
17. Bale sigala-gala
18. Babad alas Wanamarta
19. Arimba
20. Mustakaweni
21. Antasena lair
22. Gathotkaca lair
23. Pergiwa-Pergiwati
24. Gathotkaca kawin
25. Gathotkaca dadi ratu
26. Sasikirana
27. Brajadenta mbalela.
28. ……
29. Wahyu cakraningrat
30. Jagal Abilawa
31. Kresna duta
32. Kresna gugah
33. Seta gugur
34. Bambang Wisanggeni
35. Pendawa dadu
36. Yudayana ilang
37. …
38. Arjunawiwaha
39. Sumantri ngenger
40. Dasarata kawin
41. Dewi Sinta lair
42. Rama kawin
43. Tundhungan
44. Rama duta
45. Rama gandrung
46. Rama tambak
47. Pejahipun Kumbakarna
48. Pejahipun Indrajid
49. Pejahipun Dasamuka
50. Sinta obong
51. Rama obong
52. Rama nitis
53. dan lain-lain.

Referensi

* Suluk, Kawruh Pedhalangan lan Macapat, Nanang Windradi, Penerbit Cendrawasih
.SERAT KALATIDHA
Serat Kalatidha atau Kalatidha saja adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.

Latar belakang

Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah “zaman gila” atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau “pujangga terakhir”. Sebab setelah itu tidak ada “pujangga kerajaan” lagi.

Arti singkat

Syair Kalatidha bisa dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama ialah bait 1 sampai 6, bagian kedua ialah bait 7 dan bagian kedua ialah bait 8 sampai 12. Bagian pertama ialah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip. Bagian kedua isinya ialah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya ialah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.

Petikan

Bait Serat Kalatidha yang paling dikenal adalah bait ke-7. Sebab bait ini adalah esensi utama syair ini. Amanat syair ini bisa diringkas dalam satu bait ini.

Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya kéduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

Menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
bagaimana akan mendapatkan bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

0 komentar

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
INGAT, PEMILU / PILKADA JANGAN GOLPUT :
SATU SUARA ADALAH SATU HARAPAN JIKA SATU SUARA TERBUANG BERARTI SATU HARAPAN HILANG
JIKA ANDA GOLPUT ANDA KEHILANGAN KESEMPATAN MEMPERBAIKI BANGSA INI

PEMBERITAHUAN LAMAN INI MENERIMA SUMBANGAN ARTIKEL KEASWAJAAN, KEBANGSAAN DAN KEINDONESIAN Kirimkan Artikel anda ke : alhasan-petarukan@gmail.com