English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
NAHDLATUL ULAMA BERKOMITMEN TETAP MEMPERTAHANKAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Karena menurut NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia

Dakwah Kultural NU

Diposting oleh Musholla BAITUL HASAN Sabtu, 31 Maret 2012

BID’AH, Tiba-tiba kata itu populer lagi, setelah untuk beberapa tahun terkubur oleh realitas yang sungguh menyejukkan. Kemesraan yang terjalin antar umat Islam di tanah air tanpa membedakan faham keber-agama-annya. Namun sayang, kemesraan itu kini terancam berantakan seiring dengan massifnya gerakan-gerakan salafy/wahabi yang menamakan diri “pemurnian” ajaran Islam dalam beberapa tahun belakangan ini. Dengan segala daya upaya tanpa mengenal waktu dan tempat mereka melakukan “intimidasi” dengan menuduh orang lain yang berseberangan faham telah melakukan bid’ah, melakukan sesuatu yang menurut mereka syirik dan sesat, bahkan ada yang sampai melakukan takfir (mengkafirkan) sesame mukmin. Dalam beberapa kasus mereka malah mengambil alih managemen masjid serta mengganti atau menghapus kegiatan masjid dengan hal-hal yang menurut mereka benar dan murni. Tak pelak, ini menimbulkan gejolak ditengah masyarakat yang nantinya sangat berpeluang memunculkan konflik.
NU adalah golongan yang selama ini sering dituduh sebagai pelopor praktik bid’ah, khurafat dan syirik, ini tidak lepas dari tradisi tahlil, istighotsah, diba’an dan ziarah kubur ke makam para wali yang memang banyak dilakukan oleh warga NU. Alhasil, bagi mereka, NU merupakan bid’ah maker (pencipta bid’ah). Karena bagi mereka bid,ah itu sesat, tidak perlu ada peninjauan apalagi pembagian makna bid’ah. Kullu bid’atin dlolalah, titik! Tidak perlu pembagian bid’ah hasanah atau dlolalah, apalagi pembagian bid’ah yang merujuk kepada hukum fikih yang lima.

Dakwah kultural NU dan bid’ah hasanah
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, masuknya Islam ke Indonesia adalah dengan cara damai, yakni dengan pendekatan dengan masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya salafussalih dan budaya lokal Nusantara). Berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M. telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H. / 1292 M., telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathutah, pengembara muslim yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H. / 1345 M. menuliskan dalam Kanzul ‘ulum bahwa di Aceh telah tersebar pengikut mazhab Syafi’i . Tapi baru abad 9 H (XV M) penduduk pribumi memeluk Islam secara missal. Inilah masa dakwah walisongo yang dating ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I Turki dengan menjadikan budaya dan tradisi lokal sebagai sarana atau media dakwah. Style inilah yang disebut dengan dakwah kultural yang dikembangkan oleh walisongo, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa literatur seperti “Ensiklopedi Islam”, “Tarikhul Auliya”, “ Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia” , “Seputar Walisongo” dan “Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya”.

Sebelum Islam masuk, mayoritas penduduk Nusantara beragama Hindu dan Budha, sehingga tradisi lokalnya amat kental diwarnai oleh dua agama tersebut. Oleh walisongo, tradisi lokal ini tidak dianggap sebagai musuh agama yang harus dibasmi selagi tidak ada larangan dalam nas syari’at. Justru sebaliknya, tradisi tersebut dimanfaatkan sebagai media dakwah. Kecintaan masyarakat jawa pada kesenian dimanfaatkan oleh walisongo untuk menciptakan tembang-tembang berisi ajaran Islam dalam bahasa jawa. Pertunjukan wayang diisi lakon Islami, kebiasaanberkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu diisi pembacaan kalimah Thayyibah, kebiasaan menyediakan makanan bagi anggota keluarga yang meninggal diubah menjadi bersedekah kepada tetangga yang berkumpul untuk berdoa. Bahkan Sunan Ampel – yang dikenal sangat hati-hati– menyebut kata Shalat dengan sembahyang dan menamai Langgar untuk menyebut Tempat shalat. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat dengan corak jawa dengan genteng yang bertingkat-tingkat, bahkan masjid kudus dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon da’i, walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha dalam mendidik cantrik dan calon pemimpin agama mereka.

Model dakwah kultural sebagaimana dipraktekkan oleh walisongo itulah yang oleh Nahdltul Ulama terus dipelihara dan dikembangkan di Indonesia dengan prinsip Al muhafadhah ‘ala al qadimis shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah. NU sangat terbuka dengan hal-hal baru yang membawa kemaslahatan bagi agama Islam walaupun Nabi tidak pernah mencontohkannya. Diantaranya sangat mendukung model dakwah dengan media televisi, telepon genggam, internet atau apapun yang sesuai dengan dengan perkembangan zaman dan tingkat kecerdasan ( Khaatibu an naasa bi qadri ‘uquulihim ) serta kecenderungan obyek dakwah ( umat ) selama tidak bertentangan dengan syar’i. Sungguh amat menggelikan melihat kelompok yang gemar menuduh bid’ah dengan alasan praktik tersebut tidak ada pada masa Nabi tapi ternyata mereka berdakwah melalui media majalah, radio dan internet!. Bukankah semua itu tidak ada pada zaman Nabi dan berarti Nabi pun tidak pernah melakukannya? Tidakkah berarti mereka juga bid’ah maker ?

Disadur dari tulisan H. RPA. Mujahid Anshori
Ketua Forum Silaturrahmi Ta’mir Masjid dan Musholla Indonesia
Majalah AULA No. 06 Tahun XXXIII edisi Juni 2011.


0 komentar

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
INGAT, PEMILU / PILKADA JANGAN GOLPUT :
SATU SUARA ADALAH SATU HARAPAN JIKA SATU SUARA TERBUANG BERARTI SATU HARAPAN HILANG
JIKA ANDA GOLPUT ANDA KEHILANGAN KESEMPATAN MEMPERBAIKI BANGSA INI

PEMBERITAHUAN LAMAN INI MENERIMA SUMBANGAN ARTIKEL KEASWAJAAN, KEBANGSAAN DAN KEINDONESIAN Kirimkan Artikel anda ke : alhasan-petarukan@gmail.com