Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi telah menguraikan dalam kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat.
(1) tanda-tanda terperinci, yang telah diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa al-Nihal, al-Farq bayna al-Firaq dan lain-lain.
(2) tanda-tanda umum. Menurut Asy-Syathibi, secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga.
(1) tanda-tanda terperinci, yang telah diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa al-Nihal, al-Farq bayna al-Firaq dan lain-lain.
(2) tanda-tanda umum. Menurut Asy-Syathibi, secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga.
Pertama, terjadinya perpecahan di antara mereka.
Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam. Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)”
‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.” Demikian uraian Asy-Syathibi.
Setelah menguraikan demikian, kemudian Asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Di mana Khawarij memecah belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Mereka akan membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.
Ada kisah menarik berkaitan dengan perpecahan di kalangan Wahabi. AD, salah seorang teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya. “Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang pemateri yang beraliran Salafi berkata, “Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.” Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya, “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah itu, sesama kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah Wal-Jama’ah menurut Ustadz? Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.
Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.
Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalah ahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.
Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama Salafi seperti ini, menurut Ustadz, layakkah para ulama Salafi tadi disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah?” Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri, tokoh Wahabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Musri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali Musri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember. Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, karangan Dr. Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Musri ketika kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh. Ternyata dalam kitab Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, Dr. Abdul Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan dan sebagainya. Subhanallah, kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).
Mengikuti Teks Mutasyabihat
Kedua, mengikuti teks mutasyabihat,
seperti yang diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya”. (QS. 3 : 7). Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang sesat selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan yang muhkam.
Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks yang samar maknanya dan belum dijelaskan maksudnya. Menurutnya, mutasyabih itu ada dua; (1) mutasyabih haqiqi seperti lafal-lafal yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk. Dan (2) mutasyabih relatif (idhafi), yaitu ayat yang membutuhkan dalil eksternal untuk menjelaskan makna yang sebenarnya, meskipun secara sepintas, teks tersebut memiliki kejelasan makna, seperti ketika orang-orang Khawarij berupaya membatalkan arbitrase mengambil dalil dari ayat, “ini al-hukmu illa lillah (hukum hanya milik Allah)”. Secara literal, ayat tersebut dapat dibenarkan menjadi dalil mereka. Tetapi apabila dikaji lebih mendalam, ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Berkaitan dengan hal ini Ibn Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu terkadang terjadi tanpa proses arbitrase, karena ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita melakukan arbitrase, maka hukum yang menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali radhiyallahu anhu. Menurut Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.” Di sini kaum Khawarij membatasi logika mereka pada satu sisi saja, yaitu kalau memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka tidak dijadikan tawanan oleh Ali sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menawan musuh-musuhnya dalam peperangan? Dalam logika berpikir ini, Khawarij telah meninggalkan sisi lain, yaitu sisi yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. 49 : 9).
Ayat tersebut menjelaskan tentang peperangan tanpa operasi penawanan sesudahnya terhadap pihak yang kalah. Hal ini yang tidak disadari oleh kaum Khawarij. Akan tetapi dalam perdebatan dengan Khawarij, Ibn Abbas mengingatkan mereka pada aspek yang lebih mematahkan, yaitu bahwa jika dalam peperangan Ali radhiyallahu anhu terjadi operasi penawanan, maka sebagian mereka akan mendapat bagian Ummul Mu’minin ‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan menyalahi al-Qur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan aliran Wahabi, kita dapati mereka selalu berpegangan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaum Wahabi membaca ayat al-Qur’an, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”, (QS. 39 : 3), maka mereka mengatakan bahwa orang yang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara (tawassul) orang yang sudah wafat, berarti telah syirik dan kafir.
Kaum Wahabi lupa, bahwa di samping mereka tidak memahami makna ibadah secara benar, mereka juga tidak menyadari bahwa bertawassul dengan para nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman yang dangkal terhadap ayat tersebut, Wahhabi akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap kaum Muslimin. Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahabi biasanya mengikuti teks-teks literal yang tidak dipahami maknanya secara benar.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata dalam kitabnya al-I’tisham yang sangat populer: “Renungkanlah, logika berpikir mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (sebagai orang-orang yang sesat). Hati-hatilah dengan mereka”.
Ketiga, mengikuti hawa nafsu
Sebagaimana diingatkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan (zaigh)”, (QS. 3 : 3). Kesesatan (zaigh) adalah lari dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Dalam ayat lain, “Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS. 28 : 50).
Ada kisah menarik berkaitan dengan mengikuti hawa nafsu ini. Ketika orang-orang Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Ali selalu didatangi orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka melakukan gerakan melawan Anda.” Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.” Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon shalat zhuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij) untuk berdialog dengan mereka.” Ali radhiyallahu anhu menjawab: “Aku khawatir mereka mengapa-apakanmu.” Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.” Akhirnya Ali radhiyallahu anhu merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersungguh-sungguh dari pada mereka. Pada dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu aku mengucapkan salam kepada mereka. Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka. Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an dari pada kalian. Lalu sebagian mereka berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. 43 : 58). Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000 orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Kita seringkali melihat atau mendengar kisah perdebatan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan tokoh-tokoh ahli bid’ah, misalnya orang Syi’ah, Wahhabi, atau lainnya. Akan tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan dalam perdebatan, dengan dalil-dalil al-Qur’an, Sunnah dan pandangan ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu telah mengalahkan mereka.
Tidak Mengetahui Posisi Sunnah
Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat sebuah pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah aliran sesat? Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.
Menurut Asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya meragukan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut Asy-Syathibi, seorang alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.
Kaitannya dengan aliran Wahabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pendiri aliran Wahabi sendiri, termasuk orang yang tidak jelas kealimannya. Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang semasa dengan Syaikh Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurut Syaikh Ibn Humaid dalam al-Suhub al-Wabilah, kitab yang menghimpun biografi para ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena ia tidak rajin mempelajari ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah:
“Hari ini manusia mendapat ujian dengan tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak peduli dengan orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta membandingkan pendapatnya terhadap para ulama, ia tidak mau. Bahkan ia mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yang menyelisihinya, dianggap kafir. Padahal tak satu pun dari syarat-syarat ijtihad ia penuhi, bahkan demi Allah, 1 % pun ia tidak memiliknya. Meski demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam. Inna lillah wa inna ilayhi raji’un.” (Syaikh Sulaiman, al-Shawaiq al-’Ilahiyyah, hal. 5).
Dewasa ini, para pengikut aliran Wahabi atau Salafi, sebagian besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai. Ada kisah menarik berkaitan hal ini. Bahrul Ulum, teman saya yang tinggal di Surabaya, bercerita kepada saya.
“Suatu hari saya mendatangi Ustadz Mahrus Ali yang populer dengan mantan kiai NU, di rumahnya, Waru Sidoarjo. Ternyata Ustadz Mahrus Ali sedang menulis buku yang isinya mengharamkan ayam. Melihat tulisan tersebut, saya segera membuka Shahih al-Bukhari, dan di situ ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah makan ayam. Saya tunjukkan kepada Ustadz Mahrus Ali, hadits dalam Shahih al-Bukhari itu sambil menyerahkan kitabnya. Ternyata, di luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali bilang, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.” Mendengar jawaban tersebut, saya terkejut. Ternyata Ustadz Mahrus Ali mengikuti logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya, sebenarnya Mahrus Ali itu bukan bermaksud mengikuti logika orientalis. Ia hanya bermaksud menutupi rasa malunya saja dengan alasan bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Sebab dalam logika Wahhabi, kedudukan hadits ahad (kebalikan hadits mutawatir) sama dengan hadits mutawatir, sama-sama menjadi pedoman dalam akidah dan hukum.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan, mengapa LBM NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru. LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang pertama. Kami dari tim LBM NU Jember memang tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru, karena disamping buku-buku yang baru, dalil dan argumentasinya sama dengan buku yang pertama, juga dalam buku-buku yang baru, pendapat-pendapatnya banyak yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan, “Kini, saya tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah melihat para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Pernyataan ini jelas menyingkap siapa sebenarnya Mahrus Ali. Bukankah hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli hadits dari generasi salaf, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu Bakr Ibn al-Muqri’ al-Ashbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi Taqbil al-Yad. Tetapi Ustadz Mahrus Ali, seperti kebiasaan kaum Wahhabi, memang sangat mudah mendistribusikan vonis bid’ah dan syirik terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.
Menghujat Generasi Salaf
Menurut al-Imam Asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat di atas, tanda yang pertama diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq (yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam). Sedangkan tanda-tanda kedua dan ketiga, yaitu mengikuti teks mutasyabihat dan hawa nafsu, tidak diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan dalam ayat al-Qur’an (QS. 3 : 7).
Selain hal tersebut, Asy-Syathibi juga menerangkan bahwa ciri khas ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu orang lain, ia akan membeberkan kejelekan orang-orang terdahulu yang dikenal alim, saleh dan menjadi panutan umat. Sebaliknya ia akan menyanjung setinggi langit, orang-orang yang berbeda dengan para tokoh panutan tersebut.
Dalam hal ini Asy-Syathibi memberikan contoh bagi kita, bagaimana kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Padahal para sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru memuji Abdurrahman bin Muljam al-Muradi karena telah membunuh Sayidina Ali radhiyallahu anhu.
Perbuatan serupa juga dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Syi’ah telah menghujat dan mengkafirkan para sahabat. Menurut Syiah, seperti dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, sesudah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.
Sementara kaum Wahabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para sahabat dan generasi salaf. Namun dari pandangan mereka yang membid’ahkan dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya, seperti amaliah tawassul, istighatsah, tabarruk dan lain-lain, sebagian ulama menganggap kaum Wahhabi telah membid’ahkan dan mengkafirkan generasi salaf secara implisit. Bukankah amaliah tawassul, tabarruk, istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni dengan Wahhabi, telah diajarkan oleh kaum salaf, generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum Wahhabi justru menganggap orang-orang Musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain lebih mantap tauhidnya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.
Belakangan, dari kaum Wahabi kontemporer tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, misalnya menganggap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu anhu telah musyrik, dalam komentarnya terhadap kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya, menganggap al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani bukan pengikut Ahlussunnah.
Syaikh Nashirudin al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Dalam kitab al-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui kesyirikan. Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafizh al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan. Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.
Sulit Diajak Dialog Terbuka
Pada bulan Maret 2008, tim LBM NU Jember mengajak Mahrus Ali untuk berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang. Sesudah itu, beberapa kali ia diajak dialog di Universitas Diponegoro Semarang, kemudian di Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak siap. Dan terakhir dia diajak dialog di masjid di sebelah rumah tempat tinggalnya, ternyata ia tidak datang. Sepertinya ia tidak berani berdialog terbuka dengan para ulama, karena ia merasa yakin bahwa dalil-dalil yang dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena perdebatan ilmiah.
Al-Imam Asy-Syathibi menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian besar kaum ahli bid’ah dan pengikut aliran sesat tidak suka berdialog dan berdebat dengan pihak lain. Menurut Asy-Syathibi, mereka tidak akan membicarakan pendapatnya dengan orang yang alim, khawatir kelihatan kalau pendapat mereka tidak memiliki landasan dalil syar’i yang otoritatif. Sikap yang mereka tampakkan ketika bertemu dengan orang alim adalah sikap pura-pura. Tetapi ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak kritik dan sanggahan terhadap ajaran dan amaliah umat Islam yang sesuai dengan syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada kalangan awam.
Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahabi, seperti awal Agustus 2010 di Sampang, beberapa bulan sebelumnya di Yogyakarta dan Juli 2010 di Denpasar, tidak sedikit dari kalangan Wahhabi yang melontarkan pernyataan kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni dengan Wahabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita orang-orang kafir, Amerika, Zionis dan lainnya yang dengan rapi berupaya menghancurkan umat Islam.” Begitulah kira-kira ucapan mereka.
Tentu saja ucapan itu mereka lontarkan ketika posisi mereka terdesak dalam arena perdebatan dan diskusi ilmiah yang disaksikan oleh publik. Mereka merasa khawatir, pandangan-pandangan mereka yang keluar dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan kerapuhannya. Terbukti, mereka sendiri ketika berbicara di hadapan orang awam, tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan mereka. Bahkan selama ini, kelompok mereka sangat agresif membicarakan dan menyebarkan isu-isu khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi, maupun dengan lainnya.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham: “Jangan berharap mereka (ahli bid’ah Salafy Wahabi) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar dalam ilmunya.”
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin….
SUMBER: Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.
Bagus sekali penjelasannya... ada beberapa hal yang baru saya ketahui, terutama dalam hal pengalaman pribadi. saya sering membaca artikel "mereka" pada media online, saya melihat "mereka" terlalu sempit dalam menafsirkan ayat Al Quran dan Hadist. "mereka" terlalu terpaku pada suatu hal dan mengabaikan penjelasan yg lain, pada akhirnya mereka dengan mudahnya mengeluarkan kata2 kafir, musyrik, dll kepada orang yg tidak sejalan dengan pemahamannya. Semoga Allah memberikah hidayah kepada mereka. jazakumulloh Khoiron katsiro