NU dan Pancasila
Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Oktober, kita semua pasti ingat tiap tanggal 1 dibulan tersebut sejak zaman Orde Baru sampai sekarang diperingati sebagai hari kesaktian pancasila. Hal ini terjadi karena saat itu bertepatan dengan satu peristiwa pemberontakan yang gagal oleh partai komunis Indonesia (PKI) pada tangga 30 September 1965 dinihari. Tujuan pemberontakan itu jelas dalam rangka untuk menggantikan pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi komunisme.
Sejak saat itulah pancasila menjadi ideologi yang wajib diketahui, dihafalkan, dan dilaksanakan tanpa reserve oleh seluruh warga negara Indonesia, sampai sertifikat atau piagam penataran P4 dijadikan seseorang untuk memilikinya walaupun pancasila sebenarnya sudah ada dan sudah menjadi dasar negara dan ideologi bangsa sejak proklamasi dibacakan.
Puncak kebijakan rezim orde baru dalam mensikapi pancasila kaitannya dengan ketatanegaraan adalah diharuskannya pancasila sebagai asas dan bahkan menjadi satu-satunya asas bagi suatu perkumpulan yang ingin hidup dibumi Indonesia. Seluruh organisasi yang sudah ada harus menjadikan pancasila sebagai asas tunggal, kalau tidak, maka organisasi tersebut bisa dibubarkan. Termasuk organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah.
Adanya kebijakan pemerintah Orde Baru tersebut, menimbulkan gejolak cukup tinggi dimasyarakat, terutama organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, malah ada beberapa ormas keagamaan yang secara terang-terangan menolak kebijakan pemerintah tersebut, karena kebijakan itu dianggap sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip organisasi tersebut.
Dalam kaitan asas tungal organisasi ini, adalah menarik apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar di Indonesia. Pada musyawarah nasional NU di Situbondo pada tahun 1983,NU telah menetapkan hubungan pancasila dengan Islam, sebagai jalan keluar dalam mensikapi kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pancasila sebagai asas tunggal setiap organisasi. Keputusan itu berbunyi :
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat dijadikan agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama.
2. Sila “ Ketuhanan yang Maha Esa “ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang undang Dasar (UUD) 1945, menjiwai sila yang lain yang mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Peneriamaan dan pengamalan pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap diatas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
KEPUTUSAN INI MERUPAKAN SATU SIKAP YANG SANGAT PRINSIPIL,BERKAITAN DENGAN AKIDAH DAN SEKALIGUS DAPAT DIJADIKAN DASAR DALAM MENSIKAPI HUBUNGAN ANTAR AGAMA.DENGAN DENGAN TEGAS DISEBUTKAN BAHWA PANCA SILA BUKAN AGAMA DAN TIDAK DAPAT MENGGANTIKAN KEDUDUKAN AGAMA SEHINGGA NAHDLATUL ULAMA DALAM MENSIKAPI PANCSILA SEBAGAI ASAS TUNGGAL ORGANISASI,TIDAK MENDUDUKAN SEJAJAR DENGAN ISLAM SEBAGAI AKIDAH.
Keputusan ini merupakan satu sikap yang sangat prinsipil, berkaitan dengan akidah dan sekaligus dapat dijadikan dasar dalam mensikapi dalam hubungan agama dengan negara, terutama dinegara kita yang bukan negara agama. dengan tegas bahwa pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama, sehingga nahdlatul ulama dalam mensikapi pancasila sebagai asas tunggal organisasi , tidak mendudukan sejajar dengan Islam sebagai akidah. Pancasila disikapi sebagai pedoman dalam bernegera, sedangkan islam disikapi sebagai pedoman dalam berakidah, selama tidak bertentangan dengan islam itu sendiri. Lebih-lebih dalam point kedua keputusan tersebut, jelas-jelas menyebutkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencermikan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam, Hal ini memang sesuai dengan sejarah dirumuskanya Piagam Jakarta oleh para pendiri negara ini , yang didalamnya menyebutkan bahwa pada sila pertama pancasila , terdapat tujuh kata kata yang berbunyi ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Kemudian sepakat diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tercantum pada pembukaan undang-undang dasar 1945.
Sering munculnya masalah yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Karena ada kepentingan-kepentingan sesaat yang menggunakan Pancasila sebagai alat kepentingan tersebut. Hal ini benar seperti apa yang dikatakan oleh K.H Mustofa Bisri bahwa; ”Seandainya pancasila sejak awal - Saat masih banyak pemimpin Indonesia yang negarawan dan ghirah kebangsaan masih tebal-tebalnya - terus didiskusikan penjabaran sila-silanya dan di masyarakatkan secara apa adanya ; Seandainya tidak sebaliknya justru pancasila hanya diseret-seret kepentingan politik sesaat,seandainya rezim Soeharto dizaman Orde Baru tidak dholim dalam menggunakan pancasila sebagai salah satu alat mempertahankan kekuasaannya,saya kira pancasila akan baik-baik saja, dan tetap menjadi andalan dalam menjaga keutuhan NKRI. Tidak ada yang mempersoalkan apakah pancasila masih relevan atau tidak? Tidak ada yang mempersoalkan pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
MARILAH KITA PERBANDINGKAN LIMA SILA DARI PANCASILA DENGAN PRINSIP-PRINSIP DAN TATA NILAI YANG TELAH DIAMANATKAN DALAM ALQUR’AN.
KITA AKAN MELIHAT ADANYA PERSAMAAN, TERMASUK JUGA SEMANGATNYA.
DAN HENDAKLAH KITA UMAT ISLAM INDONESIA MENERIMA NEGARA REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA INI SEBAGAI TUJUAN FINAL DARI ASPIRASI POLITIK KITA, DAN BUKAN SEKEDAR SASARAN SEMENTARA ATAU BATU LONCATAN UNTUK MENUJU KEARAH SASARAN LAIN YANG DISEMBUNYIKAN (HIDDEN AGENDA).
DALAM KAITAN INI DAPAT DIKEMUKAKAN, BAIK DALAM SISTEM POLITIK
MAUPUN SISTEM HUKUM, TERDAPAT BANYAK KESAMAAN ANTARA NKRI DAN NEGARA-NEGARA BERPENDUDUK MUSLIM LAINNYA.
SATU-SATUNYA PEMBEDA KONSTITUSI NKRI DENGAN NEGARA BERPENDUDUK MUSLIM LAINNYA ADALAH
MEREKA MENJADIKAN HANYA ISLAM SEBAGAI AGAMA YANG RESMI DIANUT OLEH NEGARA.”
Adanya keputusan Munas Nahdlatul Ulama tersebut, paling tidak untuk warga Nahdliyyin –syukur syukur umat Islam Indonesia– sudah mempunyai pedoman dalam mensikapi hubungan antara pancasila dan agama.
Sebagai penutup saya nukilkan pernyataan Almarhum Al-maghfurllah KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Aam Nahdlatul Ulama, ketika ada perdebatan sengit dalam mensikapi pancasila antara kaum muda dengan golongan tua dikalangan Nahdlatul Ulama, beliau mengutarakan dengan kalimat yang sangat sareh “ wong barang sudah sekian lama dimakan kok baru dibahas halal haramnya”.
Mengenang Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M
Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali.
Pimpinan (KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi -- dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang - berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.
Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: "Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?" Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.K. Kun Solahuddin yang diutus K. As'ad Samsul Arifin untuk 'mengamati' rapat, kemudian melapor ke K. As'ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As'ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As'ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.Yang masih menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku 'saksi sejarah', bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya -termasuk saya-- merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah "membaca" masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang -padahal-- pada saat berbicara, Gus Dur tidur.
Wallahu a'lam.
0 komentar